Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Daendels Bayar Upah Pekerja, Tapi Uangnya Dikorupsi Bupati, Benarkah?

3 Mei 2021   11:06 Diperbarui: 4 Mei 2021   16:14 4680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di antara Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Indonesia, HW (Herman Willem) Daendels dikenal sebagai Gubernur Jenderal era Perancis.

Tak pelak karenanya Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang ke 36 (memerintah 1808-1811) itu disebut-sebut sebagai Klein Napoleon.

Maka dengan demikian tak heran banyak buku-buku tentang Daendels yang diterbitkan di Perancis.

Kisahnya berawal dari Daendels yang melarikan diri ke Perancis pada tahun 1780 dan 1787 karena melakukan pemberontakan kepada pemerintah Belanda. 

Di Perancis saat itu sedang berkobar Revolusi Perancis, yang sangat terkenal dalam sejarah, pimpinan Napoleon Bonaparte. Pada tahun 1806 Raja Belanda, Louis memanggil Daendels untuk kembali dan berbakti lagi.

Atas usul dari Napoleon Bonaparte, Raja Louis lantas mengangkat Daendels untuk menjadi Gubernur Jenderal di Hindia-Belanda.

Dilantik pada tanggal 28 Januari 1807, Raja Louis memberikan dua tugas pokok kepada Daendels, yaitu tugas militer dan tugas politik.

Pembangunan Jalan Raya antara Anyer sampai Panarukan yang terkenal itu adalah salah satu tugas Daendels dalam bidang militer atau pertahanan. Hal tersebut ditujukan untuk mobilitas pasukan.

Sedangkan dalam bidang politik atau pemerintahan, Daendels mengubah struktur birokrasi yang terpusat di bawah langsung sang Gubernur Jenderal.

Jika sebelumnya Bupati berfungsi sebagai kepala pemerintahan daerah, maka sekarang mereka bertanggungjawab kepada Gubernur Jenderal.

Daendels juga membatasi pengaruh kerajaan-kerajaan yang ada pada saat itu terhadap aspek-aspek kehidupan masyarakat.

Riau24.com, Minggu (2/5/2021), menyebut-nyebut "Mas Galak" sebagai orang Belanda pertama yang mengeluarkan gagasan terbentuknya kolonial modern Hindia-Belanda, paska VOC.

Ternyata apa yang disebutkan dengan kolonial modern tersebut di atas adalah Daendels melakukan perubahan organisasi pemerintahan di Jawa. Hal itu sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Gubernur-gubernur Jenderal sebelumnya.

Dalam hal ini Gubernur Jenderal yang dibantu oleh para petinggi di Batavia merupakan pusat kekuasaan.

Sedangkan wakil Raja Belanda di Indonesia (atau wilayah kolonial lainnya) adalah penguasa tertinggi yang mengatur birokrasi sampai kepada level yang paling bawah.

Dengan birokrasi seperti itu, maka "Mas Galak" dapat memecat siapa saja pejabat bawahannya yang melakukan pekerjaan yang tidak benar, misalnya korupsi.

"Mas Galak" seperti yang disebutkan di atas adalah sebutan yang diberikan kepada Daendels yang terkenal sebagai Gubernur Jenderal yang paling kejam. Diberikan oleh orang-orang Jawa.

Dengan mengerahkan penduduk Jawa, Daendels memerintahkan pembuatan jalan raya yang menghubungkan antara Anyer di ujung barat hingga ke Panarukan di ujung timur Pulau Jawa.

Jalan sepanjang 1.000 kilometer itu disebut dengan Jalan Raya Pos, atau Grote Postweg.

Pekerjaan yang sangat berat itu tak pelak mengorbankan banyak orang. Lebih dari 30.000 penduduk Jawa meninggal dunia. 

Bayangkan, para pekerja harus menembus bebatuan dan gunung, juga hutan belantara yang sangat lebat.

"Mas Galak" disebutkan karena kebengisan Daendels.

Sebuah unggahan Twitter dari Teddy Septiansyah pada bulan Pebruari tahun 2021 lalu sempat menghebohkan para netizen. Dalam unggahannya, Teddy Septiansyah mengatakan jika sebenarnya Daendels sudah mengeluarkan uang sebesar 30.000 ringgit untuk membayar upah para pekerja, mandor dan juga untuk uang konsumsi.

Namun Teddy menulis jika uang itu tidak disampaikan oleh bupati kepada para pekerja, alias dikorupsi.

Mekanisme pemberian uang itu adalah dari Gubernur Jenderal ke residen. Dari residen ke bupati. Baru bupati yang langsung memberikannya kepada para pekerja.

Dalam penelitiannya, sejarawan dari Universitas Indonesia Djoko Marihandono menemukan jika bukti penyerahan uang dari dari residen ke bupati ada. Sedangkan bukti penyerahan uang dari bupati kepada para pekerja tidak ada.

Djoko mengatakan pemberian uang sebesar 30.000 ringgit itu saat sedang tahap pembuatan jalan antara Bogor ke Cirebon.

Jadi jika demikian apakah anggapan selama ini bahwa Daendels melakukan kerja rodi/kerja paksa benar adanya?

"Bukti penyerahan uang dari residen ada. Tapi dari bupati belum ada. Mungkin juga ada. Tapi yang pasti ada upah. Bukan kerja paksa," kata Djoko.

Tidak diketahui pasti berapa jumlah uang yang dikorupsi bupati.

Daendels pernah meminta Sultan Banten Syaifuddin untuk menyiapkan 1500 pekerja untuk membangun armada Belanda di Teluk Lada.

Alih-alih melaksanakan perintah Daendels, Sultan Syaifuddin malah memancung kepala Du Puy, utusan Daendels. Bahkan kepala Du Puy dikirimkan ke Daendels.

Marah besar, Daendels menghancurkan Keraton Kaibon, Kesultanan Banten.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun