Panji-panji, spanduk, atau tulisan "Marhaban Ya Ramadhan" mulai banyak terlihat di jalan-jalan sehubungan dengan semakin dekatnya bulan suci Ramadhan, bulan yang sangat dinanti-nantikan kehadirannya oleh umat Muslim di seluruh dunia.
Mereka bergembira, bahwa mereka bertemu lagi dengan bulan penuh Rahmat dan ampunan, mendekatkan pada Illahi.
Muhammadiyah menetapkan Selasa, 13 April 2021 sebagai 1 Ramadhan 1442 Hijiriah.
Sehubungan itu banyak tradisi di Indonesia ini yang dihelat setiap tahunnya menjelang tibanya bulan Ramadhan dimana umat Islam menjalankan kewajibannya rukun Islam yang ketiga yaitu berpuasa.
Di Jawa Barat setidaknya ada tiga tradisi dalam menyambut tibanya bulan puasa ini. Mengapa Jawa Barat?
Dalam puasa ini, ada satu kata yang sangat populer sehubungan dengan aktifitas Ramadhan yaitu ngabuburit. Kata itu jelas berasal dari bahasa Sunda.
Ngabuburit ini berasal dari kata burit dan nga.
Burit artinya sore, dan nga berarti "menghabiskan waktu" sampai tibanya buka puasa di sore hari.
Karena lama bermukim di Jawa Barat, suasana Ramadhan dengan segala aktivitasnya, termasuk ngabuburit ini sempat saya rasakan sendiri.
Mereka jalan-jalan, main layangan, main kelereng, bahkan ada juga yang menacing ikan atau belut.
KH Cecep Jaya Karama, pimpinan Pondok Pesantren Nurul Huda, Kabupaten Garut, Jawa Barat, menyebutkan ada setidaknya tiga tradisi yang biasa dilakukan masyarakat Sunda menjelang tibanya bulan puasa ini.
Ketiganya adalah nyadran, munggahan, dan kuramasan.
Nyadran ini selain dilakukan di Jawa Barat juga di daerah-daerah lainnya. Nyadran umumnya adalah mereka yang akan berpuasa sebulan penuh mengunjungi orang-orang tua yang sudah meninggal di kuburan untuk meminta restu bahwa dirinya akan berpuasa selama sebulan penuh.
Mereka memohon ijin dari orang yang sudah meninggal. Ziarah kubur ini selain dilakukan menjelang puasa juga pada hari pertama Idul Fitri.
"Ziarah kubur ini bermakna sebagai siraman rohani mereka yang akan menjalankan rukun Islam yang ketiga," kata KH Cecep.
Yang kedua adalah munggahan. Munggahan atau makan-makan bersama keluarga, teman dekat, atau kerabat lainnya itu biasanya dilakukan sejak seminggu dan mendekati 1 Syawal.
Jika munggahan itu dilakukan sehari sebelum 1 Syawal, maka itu bermakna "hitung-hitung" ini adalah hari terakhir mereka makan, besoknya mereka akan puasa.
"Tradisi ini sudah dilakukan turun menurun dan diwariskan sejak lama," kata budayawan Garut, Franz Limiart.
Kata "munggah" dalam bahasa Sunda ini artinya "naik" atau "meningkat".
Ya, mereka munggah baik secara ketakwaan, atau kebiasaan (munggah adat).
KH Cecep menjelaskan hal tersebut.
Munggah darajat berarti sikap ketakwaan mereka yang akan berpuasa sebulan penuh itu menjadi lebih hikmat. Jika dulunya malas beribadah, maka dengan tibanya bulan Ramadhan mereka menjadi rajin beribadah.
"Kalau biasanya makan dengan tahu atau tempe, maka di bulan Ramadhan mereka makan dengan daging ayam, misalnya," KH Cecep menjelaskan soal munggah adat.
Berdasarkan pengalaman sendiri, orang-orang Sunda menyebutkan munggahan itu merujuk kepada sehari sebelum puasa.
"Ayeuna teh munggahan," begitu mereka menyebutkan. "Sekarang ini munggahan,"
Sedangkan kuramasan dalam bahasa Sunda berasal dari kata "keramas". Ya, mengeramas rambut atau kepala. Dalam artian lebih luas lagi kuramasan ini membersihkan tubuh dengan mandi hingga bersih.
Itu berarti mereka harus benar-benar bersih dalam memasuki bulan Ramadhan ini. Membersihkan lahir dan batin. Suci.
"Juga saling memaafkan, menghilangkan kebencian dan dendam kepada semua," kata KH Cecep.
Terkait dengan pandemi Covid-19 sekarang ini, pemerintah khususnya Kementerian Agama menghimbau agar semua tradisi yang dilakukan menjelang atau selama Ramadhan itu di seluruh pelosok negeri agar dilaksanakan sesuai dengan aturan protokol kesehatan. Seperti tahun 2020 lalu.
Selamat menjalankan ibadah puasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H