Bagi Anda yang pernah melewati masa-masa itu, Anda tentu masih ingat dengan putra presiden Soeharto, Sigit Harjojudanto. Sigit Harjojudanto adalah putra kedua penguasa Orde Baru itu.
Sigit berkecimpung di dunia sepakbola dengan memiliki klub Arseto Solo. Akan tetapi pada awal pendiriannya pada tahun 1978 klub ini tidak bermarkas di kota Bengawan Solo, akan tetapi di Jakarta.
Arseto lalu pindah ke Solo pada tahun 1985. Markas Arseto pindah ke kota Bengawan Solo itu karena Sigit sendiri dilahirkan di Solo.
Namanya lantas berubah menjadi Arseto Solo.
Prestasi yang diraih Arseto Solo cukup mentereng. Antara lain juara Galatama pada tahun 1987 dan 1992.
1993 juara antar klub ASEAN. Mewakili Indonesia di Liga Champions Asia musim 1992-1993, Arseto bahkan mencapai babak semifinal.
Berhadapan dengan klub-klub elit Jepang, Arseto terhenti di babak empat besar itu.
Nama-nama pemain yang tercatat pernah membela Arseto antara lain Nasrul Koto, Eduard Tjong, dan Ricky Yacobi.
Andai saja sang ayah, Soeharto, tidak lengser pada 1998, keberadaan Arseto Solo bakal terus berlanjut. Orde Baru berganti era Reformasi.
Seiring bergantinya era menjadi reformasi, maka perjalanan Arseto pun terhenti pada tahun 1998.
Arseto meninggalkan warisan berupa kompleks lapangan Kadipolo Solo, mantan markas Arseto dulu, yang konon kini terbengkalai.