Sebenarnya penduduk Jawa enggan dipindahkan ke Lampung oleh pemerintah Hindia-Belanda dikarenakan di Lampung saat itu masih berupa hutan belantara dan banyak berkeliaran binatang buas. Namun karena berupa paksaan, akhirnya mereka pun bersedia.
Sebanyak 53 ribu kepala keluarga (208.000 jiwa) dipindahkan Hindia Belanda pada kurun 1905-1943. Sebenarnya Belanda masih ingin meneruskan program ini, namun kadung, karena pada saat itu meletus Perang Dunia ke II, dimana Belanda konsentrasi dan disibukkan oleh urusan politik.
Program transmigrasi tidak hanya berhenti di sana, namun kali ini bukan Belanda yang menjadi prakarsanya karena Indonesia sudah merdeka.
Pada era kepemimpinan Presiden Soekarno, yaitu 1952-1968 sebanyak 54.317 kepala keluarga (224.105 jiwa) yang kebanyakan dari Jawa, ditambah lagi dari Jawa Barat, dan Bali dipindahkan ke Lampung.
Transmigrasi ke Lampung masih terjadi sesudahnya dan baru berhenti pada tahun 1998.
Itulah sebabnya banyak penduduk Lampung yang menuturkan Bahasa Jawa. Bahkan bahasa yang digunakan di Tegal, yaitu bahasa Ngapak, lazim digunakan di Lampung sekarang ini.
Kendati bukan bahasa utama, lantaran hanya dituturkan oleh populasi keturunan Jawa, namun kondisi Jawa nya sangat kental.
Masyarakat asli Lampung menggunakan Bahasa Lampung dalam rutin kesehariannya.
Uniknya di propinsi Lampung ini, tepatnya di Kabupaten Pesawaran, berdiri apa yang disebut dengan Museum Transmigrasi. Unik, karena inilah museum Transmigrasi pertama dan satu-satunya di dunia.
Selain untuk mengenang peristiwa besar, Museum Transmigrasi juga didirikan untuk menyediakan sarana dan prasarana pengkajian program transmigrasi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H