Setahun setelah peristiwa, tepatnya pada tanggal 12 Maret 1967 Soeharto secara resmi dilantik menjadi Presiden RI menggantikan Soekarno.
Jenderal Muhammad Yusuf memuji Soeharto sebagai cerdik atas peristiwa tersebut. Senada dengan mantan Menteri Pertahanan era Soeharto itu, aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) sekaligus saksi sejarah Jusuf Wanandi, juga mengemukakan penilaiannya bahwa peristiwa itu merupakan kemenangan hukum dan politik Soeharto.
Hal tersebut dapat dijelaskan jika Supersemar itu bukanlah transfer authority atau transfer sovereignty, tapi tugas pemulihan keamanan.
Kecerdikan dan kemenangan politik seperti yang dikatakan Muhammad Yusuf dan Jusuf Wanandi itu. Pada 11 Maret 1966 sebelumnya, Letnan Jenderal Soeharto menyuruh tiga utusan masing-masing Brigjen Basoeki Rachmat, Brigjen Amir Machmud, dan Brigjen Muhammad Yusuf untuk menemui Soekarno di Istana Bogor.
Ada setidaknya dua rumor yang beredar ketika ketiga jenderal utusan Soeharto menemui Soekarno di Istana Bogor. Ada yang mengatakan Soekarno ditodong pistol. Ada juga yang mengatakan Soekarno meneken surat itu dengan sukarela.
Supersemar itu dikeluarkan cuma 6 bulan setelah peristiwa berdarah Gerakan 30 September 1965 terjadi. Peristiwa yang paling kelam dalam sejarah. Dimana 7 orang pahlawan revolusi dibunuh oleh PKI, mayatnya dimasukkan ke lubang buaya.
Pasukan pengawal presiden Cakrabirawa dituduh sebagai inisiator perbuatan biadab itu.
Adapun langkah pertama yang diambil Soeharto setelah ditugaskan oleh Soekarno lewat Supersemar itu adalah membubarkan PKI sehari setelahnya.
Dalam bukunya "Saya dan Mas Harto", Probosutedjo (adik dari Presiden Soeharto) mengatakan tidak ada tercantum dalam Supersemar untuk membubarkan PKI.
"Namun pemulihan keamanan hanya bisa terjadi jika PKI dibubarkan," kata Probosutedjo.
Atas tindakan itu, Soekarno memprotes Soeharto bahwa wewenangnya hanyalah memulihkan keamanan, bukannya membubarkan partai politik.