Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Penerima BHACA Korupsi, Ada Lagi Selain Nurdin Abdullah?

4 Maret 2021   10:02 Diperbarui: 4 Maret 2021   10:31 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Kita manusia Indonesia harus mengapresiasi akan niat dari P-BHACA (Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award) untuk meninjau ulang dan untuk mencabut kembali status Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah sebagai penerima BHACA.

Jelas, bagaimana tidak. BHACA ini adalah penghargaan yang diberikan kepada kepada pejabat yang bersih dari korupsi.

Atas prestasinya sebelum menjabat Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah dianugerahi BHACA pada tahun 2017 lalu.

Nama Kabupaten Bantaeng dimana Nurdin Abdullah memimpin sebagai Bupati nya menjadi populer karena keberhasilan kabupaten ini meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.

Dalam periode kepemimpinannya, Nurdin Abdullah menjadi Bupati sebanyak dua kali yaitu 2008-2013, dan 2013-2018.

Selain berhasil mengembangkan pembangunan di Bantaeng, Nurdin Abdullah juga dinilai sebagai sosok yang bersih dari korupsi. Oleh karenanya, itulah yang mendasari Perkumpulan BHACA memutuskan Nurdin Abdullah memperoleh BHACA.

Namun kini, orang yang bersangkutan menjadi tersangka korupsi. Nurdin Abdullah di OTT KPK pada Sabtu dinihari (28/2/2021) ketika sang gubernur sedang tidur.

Nurdin Abdullah telah menyalahgunakan jabatannya dengan menerima suap dalam menjalankan sejumlah proyek di Sulawesi Selatan. Pada akhir 2020 dia menerima Rp 200 juta, pertengahan Pebruari dia menerima Rp 1 miliar lewat Samsul Bahri, ajudan Nurdin. Dan yang terakhir, Nurdin menerima Rp 2,2 miliar.

Dalam rilis yang dimuat dalam bunghattaaward.org, P-BHACA mengungkapkan keterkejutannya pada apa yang terjadi. P-BHACA menyebut itu sebagai sebuah pengkhianatan.

"Maka P-BHACA akan meninjau ulang penganugerahan ini," tulis P-BHACA, Selasa (2/3/2021). Dalam tulisan pernyataan itu dicantumkan nama Shanti L. Poesposoetjipto sebagai Ketua Dewan Pengurus P-BHACA.

Penganugerahan penghargaan yang diperuntukkan bagi orang-orang yang bersih dari korupsi itu seharusnya dapat dijadikan contoh bagi para pejabat lainnya untuk bersih, tidak menyalahgunakan jabatannya.

Padahal penganugerahan kepada Nurdin Abdullah itu sudah melalui seleksi yang ketat dengan melibatkan saksi-saksi yang terkait , juga dari masyarakat.

Apalagi korupsi ini dilakukan di saat masyarakat sedang beduka akibat pandemi Covid-19. Sangat menyakiti hati rakyat. Seperti korupsi yang heboh sebelumnya, yang dilakukan oleh Menteri Sosial Juliari Batubara, dan Menteri Perikanan dan Kelautan Edhy Prabowo.

Banyak pihak berpendapat jika Nurdin Abdullah "bersih" saat menjabat Bupati Bantaeng, pria yang juga bergelar profesor itu baru korupsi setelah menjabat gubernur.

Benarkah?

Jawaban datang dari Nurul Gufron, Wakil Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Gufron mengatakan dalam acara "Kompas Pagi" di kompastv, dugaan Nurdin kotor setelah naik menjadi gubernur adalah salah.

"Kami akan buktikan jika itu salah," kata Gufron, Senin (1/3/2021).

Menurutnya, KPK bisa membuktikan jika Nurdin sudah bermain uang sejak akhir tahun 2020.

"Kita bisa buktikan jika Nurdin menerima Rp 2,5 miliar sejak akhir 2020," kata Gufron.

Gufron bukannya tidak mengetahui jika "kebersihan" Sulawesi Selatan mendapatkan pujian karena program pencegahan korupsi. "Sulsel selama ini jadi rujukan bagi KPK," kata Gufron.

Apakah dengan ditangkapnya Nurdin Abdullah, Sulsel bakal tetap jadi rujukan bagi KPK dalam program pencegahan korupsi ini?

Jadi rujukan, malah mencoreng muka daerah.

Tertangkapnya tokoh anti korupsi yang melakukan korupsi seperti Nurdin Abdullah membuktikan bahwa sosok yang dianggap anti korupsi ternyata tak bebas dari kotoran.

Kasus ini pernah terjadi pada Nur Pamudji. Jadi Nurdin Abdullah tidak sendirian dalam hal penerima anugerah Bung Hatta Anti-Corruption Award yang justru melakukan korupsi.

Pada tahun 2013, bareng Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Nur Pamudji menerima anugerah Bung Hatta Anti-Corruption Award.

Nur Pamudji terbukti bersalah menerima suap pengadaan barang terkait jabatannya waktu itu selaku Direktur Energi Primer PLN (Perusahaan Listrik Negara) pada tahun 2010. Pada tahun 2012, Nur Pamudji bahkan naik pangkat menjadi Direktur Utama PLN.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Pamudji 6 tahun bui ditambah denda Rp 200 juta. Nur Pamudji naik banding, namun apa lacur, pada 12 Nopember 2020 hukumannya malah diperberat menjadi 7 tahun bui.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun