Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nama-nama Hewan di Zaman Jawa Kuno, Hanya untuk Kemiliteran?

14 Januari 2021   10:05 Diperbarui: 14 Januari 2021   11:13 6644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gajah Mada (idsejarah.net)


Apalagi Anda seorang yang gemar pada sejarah, tentunya Anda sudah tidak asing lagi dengan nama-nama yang dua di antaranya paling kesohor yaitu Gajah Mada dan Hayam Wuruk.

Jika diperhatikan, kedua negarawan tokoh itu masing-masing Perdana Menteri dan Prabu Majapahit. Yang berlokasi di Jawa kuno.

Para ahli sejarah dan arkeolog sependapat jika nama-nama hewan memang banyak digunakan, terutama untuk menunjukkan identitas jika si pemilik nama hewan itu adalah seorang militer pada zamannya.

Dua hal mengapa orang-orang Jawa Kuno menggunakan nama-nama hewan adalah karena orang-orang Jawa Kuno pada saat itu masih beragama Hindu dan nama-nama hewan yang memang dihargai dalam mitologi Jawa Kuno.

"Nama-nama hewan cukup banyak ditemui pada karya sastra Jawa kuno seperti Ranggalawe dan Pararaton," kata Ahli Epigrafi dari Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI), Sasongko, minggu kemarin, dalam Diskusi Epigrafi Nusantara.

Menurut Sasongko, nama-nama binatang itu bukan saja dipakai dalam panji-panji. Panji adalah bendera. Dalam kaitannya dengan kemiliteran, panji merujuk kepada pangkat-pangkat kemiliteran jaman itu. Kalau sekarang kita kenal pangkat-pangkat militer ini seperti jenderal, kapten, letnan, dan seterusnya. 

Toh, nama pangkat-pangkat kemiliteran tersebut belum ada pada zaman Jawa kuno itu?

Sebagai contoh Gajah (Mada). Gajah adalah binatang yang dijadikan fungsi sebagai kendaraan yang ditunggangi Airawata, Dewa Hindu.

Menurut Sasongko, penelitian tentang pemakaian nama-nama binatang pada zaman Jawa kuno ini masih sangat terbatas. Namun hal tersebut sempat tersirat dalam tulisan beberapa peneliti dunia.

Sasongko yang meneliti sendiri mendapatkan jika hewan-hewan yang dijadikan nama adalah nama-nama binatang yang eksis di Pulau Jawa. Seperti lutung, kuda, burung, gajah, kebo, lembu, menjangan, dan sebagainya.

"Ekosistem hewan-hewan endemik itu cukup berpengaruh dalam kemunculan fenomena ini," kata Sasongko.

Dua peneliti sejarah asal Belanda, masing-masing De Caparis (ahli filolog) dan Pigeaud (ahli sastra Jawa) keduanya seia sependapat fenomena penanamaan binatang itu terkait dengan panji-panji (bendera) prajurit yang bergambar hewan. 

Pemberian nama depan seperti gajah, anjing, lembu, macan,kebo dan sebagainya (pada masa Kediri dan Majapahit) menurut kedua sejarawan itu mengindikasikan profesi kemiliteran atau golongan ksatria pada zaman itu.

Edi Sedyawati, arkeolog sekaligus penulis, mengamini apa yang dikatakan kedua peneliti di atas, bahwa pangkat ketentaraan pada zaman Kediri dan Majapahit itu diidentifikasi dengan nama hewan.

"Pendapat dari De Caparis dan Pigeaud  kurang lebih sama poinnya," kata Sedyawati.

Perlu penelitian lebih jauh apakah nama binatang tertentu digunakan untuk pangkat yang tinggi dan binatang lainnya digunakan untuk pangkat yang lebih rendah. Seperti Hayam (Wuruk) yang seorang Prabu, dan Gajah (Mada) yang seorang Perdana Menteri.

Sebelumnya saya pun pernah mendapatkan informasi itu. Guru sejarah di SMP menginformasikan. Orang-orang Jawa kuno banyak menggunakan nama-nama binatang di depannya.

Jika nama-nama seperti babi, hayam, kebo, sapi dan sebagainya berasal dari endemik hewan yang ada di Pulau Jawa. Sedangkan nama-nama hewan seperti naga, mahisya, makara, dan sinha terpengaruh dari kebudayaan India.

Menurut Sasongko kemunculan nama-nama binatang itu dimulai dari abad ke 9 Masehi pada masa pemerintahan Rakai Pikatan sampai kepada masa akhir-akhir Majapahit pada abad ke 16.

Sasongko juga menambahkan gejala terbanyak kemunculan fenomena itu adalah pada masa eksisnya para petinggi kerajaan pada masa itu (dari Kediri pertengahan sampai Singasari akhir), yaitu Kartanagara, Sarweswara, dan Kroncaryadipa.

Ahli sejarah Staffan Nystrom ternyata senada pandangan dengan Sasongko bahwa penamaan itu sebagai persepsi dari nama-nama binatang yang merupakan kendaraan yang ditumpangi oleh para dewa dalam mitologi Hindu-Buddha dan juga dari dari hewan tertentu yang dihormati kebudayaan Jawa kuno. Hayam, kebo, lembu, babi, sapi.

Dengan memakai kendaraan dewa-dewa, maka kekuatan mereka terasosiasi kan dan berharap mendapatkan kekuatan atau sifat dewa-dewa itu dalam identitasnya. Gajah kan kendaraan dewa Syiwa. Bahkan Ganesha, yang sangat dihormati agama Hindu merupakan dewa utama mereka.

Ganesha umumnya dikenal sebagai dewa ilmu pengetahuan dan kecerdasan. Namun sebenarnya Ganesha adalah juga dewa kebijaksanaan, dewa penolak bencana dan dewa pelindung. ITB (Institut Teknologi Bandung) juga memakai lambang Ganesha.

Dewa Ganesha ini adalah kepalanya berbentuk gajah dan tubuhnya gemuk. Belalai gajah menghirup air, layaknya menyeruput ilmu pengetahuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun