Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Apa Itu Fobia Matematika dan Bagaimana Cara Mengatasinya?

9 Januari 2021   10:05 Diperbarui: 10 Januari 2021   08:01 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Sering kali Anda melihat tayangan iklan di layar kaca dimana seorang anak menunjukkan dua jari, telunjuk dan jari tengahnya, kepada ibunya.

"Kata guruku kita kan perlu nutrisi buat mikir, satu buat PR matematika, satu lagi buat main deh ....".

"Aku kan dua kali lebih hebat," lanjut si anak.

Berkaitan itu saya tertarik dengan sebuah artikel tentang ketakutan seorang anak terhadap pelajaran matematika, atau disebut dengan fobia matematika. Koq ada ya, fobia matematika?

Dalam ilmu psikologi, fobia didefinisikan sebagai ketakutan dan karenanya seseorang yang fobia berusaha menghindari obyek, situasi, atau aktivitas tertentu.

Jadi secara harfiah, fobia matematika adalah ketakutan terhadap pelajaran matematika. Hal tersebut dapat difahami. Dalam masa-masa Anda di sekolah dulu, mungkin Anda sempat ketakutan dengan matematika ini, saya pun sempat merasakannya.

Yenny Astria Siahaan, M.Psi., Psikolog dan staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Katolik Atmajaya, mengatakan seseorang dikatakan fobia jika rasa takut terhadap obyek tertentu itu sudah mengganggu dan mempengaruhi pola makan dan pola tidur. 

Mendekati waktu pelajaran matematika, seorang anak langsung menunjukkan gejala-gejala psikomatik, seperti kecemasan, keluar keringat dingin, atau sakit perut. Itulah yang disebut dengan fobia matematika.

Psikolog lainnya, Tari Sandjojo, Direktur Akademik Sekolah Cikal, mengatakan untuk menghindari fobia, maka pemicunya harus dihilangkan. Jika fobia tikus, maka harus steril dari tikus. Namun dalam matematika, tentu sulit.

"Karena pelajaran ini akan ditemui anak dari tingkat SD sampai SMA," kata Tari.

Oleh karenanya, Tari menekankan agar pemicu fobia matematika itu ditelusuri apakah lantaran si anak mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan saat belajar, kondisi kelas, perhitungan (soal) yang sulit, metode belajar, atau dari faktor gurunya. Apakah si guru itu kurang perhatian kepada si anak, membenci, atau bertindak keras, dan sebagainya.

Ketika di sekolah, saya sendiri mengalami ketakutan dan bermasalah dengan pelajaran matematika ini. Karena menurut saya, persoalannya sangat rumit dan tidak dapat dimengerti sama sekali. Dari sudut nilai, saya selalu mendapatkan nilai yang rendah dalam pelajaran matematika ini, bahkan sudah terbiasa dengan nilai 0.

Apakah saya tergolong dalam fobia matematika, memang terasa ada "rasa angka-angka yang ruwet" jika melihat pelajaran matematika yang diajarkan di sekolah. Gurunya juga sepertinya tidak memperhatikan saya.

Belum kepikiran saat itu untuk berkonsultasi dengan Psikolog. Terasa sedih memang melihat teman-teman nampaknya tidak bermasalah dengan pelajaran matematika itu.

Tari mengatakan matematika diperlukan dalam hidup. Dari soal perhitungan dasar, seperti pertambahan, pengurangan, pembagian, atau perkalian.

Ucapan dari Tari ini sangat menyentuh hati. "Jika fobia ini tidak diatasi, maka seorang anak tidak akan mempunyai pengalaman berhasil dalam matematika, sehingga si anak tidak akan mengerti pentingnya belajar matematika,".

Saat-saat paling menentukan adalah pada saat anak duduk di kelas 3-4 SD. Pengalaman yang tidak menyenangkan di masa-masa itu akan terbawa sampai si anak dewasa.

Tari mengatakan seorang anak bisa mengalami mimpi buruk sebelum menghadapi pelajaran matematika atau nafsu makannya berkurang dan murung. Itulah fobia.

Dalam mengatasi fobia yang pertama adalah menerima dulu apa yang menjadi kenyataan si anak terhadap sesuatu. Kemudian mengatur taktik agar si anak merasa rileks. 

Dalam hal fobia matematika si anak bisa saja terpicu rasa takutnya ketika melihat gambar atau lukisan yang bergaris-garis. Untuk itu harus diupayakan agar si anak merasa rileks ketika akan melihat gambar yang bergaris-garis itu. Dalam hal ini, guru matematikanya bisa saja memakai baju yang bergaris-garis.

Membangun relasi dengan murid, juga diperlukan seorang guru. Maka dengan demikian, guru tahu betul bagaimana harus berinteraksi dengan muridnya.

Bukannya apa yang disebut dengan fobia matematika itu tidak dipahami para pihak pendidik. Jika dulu memang ditemukan kasus itu, seiring dengan kemajuan jaman, juga dalam hal pendidikan, lantas kemudian bermunculan metode belajar matematika yang terasa lebih menyenangkan. 

Tidak menakutkan seperti yang pernah saya alami dulu.

Tari optimis dalam dua puluh tahun ke depan tidak ada lagi anak yang mengalami fobia matematika. Hal tersebut mengacu kepada penelitian cara membuat operasi bilangan yang lebih mudah namun tetap sesuai dengan cara kerja otak. Cara belajar matematika yang bikin rumit dan tidak efektif mulai ditinggalkan. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun