Naik haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dijalankan umatnya, selain rukun-rukun Islam lainnya. Dalam konteksnya, pelaksanaan naik haji sekarang sudah mudah, bandingkan dengan pelaksanaan ibadah haji di zaman kolonial Hindia-Belanda.
Ada perbedaan yang sangat kentara dalam pelaksanaan ibadah haji zaman sekarang ini dengan jamannya kolonial Hindia-Belanda.
Dalam prakteknya, pemerintah Hindia-Belanda memberikan ijin kepada pihak swasta untuk mengelola.
Namun sayang, perusahaan-perusahaan swasta tersebut melakukan banyak sekali kecurangan dan penipuan yang sangat merugikan para jemaah haji.
Selain merugikan karena penipuan, banyak juga penyimpangan lainnya yang sangat kacau balau. Banyak pemberian gelar haji diberikan kendati pun mereka belum belum berangkat atau sampai di Mekkah. Para jemaah haji juga banyak yang ditipu dan lantas dijadikan budak-budak.
Beberapa sumber menyebutkan jika orang pertama di Nusantara yang pertama kali naik haji adalah Pangeran Abdul Dohhar, putra dari Sultan Banten, Ageng Tirtayasa. Pangeran Abdul Dohhar naik haji pada tahun 1630.
Melihat sumber itu, pikiran jadi teringat kembali pada tulisan yang sempat saya baca. Sepertinya bukan Pangeran Abdul Dohhar orang pertama yang naik haji di Nusantara ini.
Yang pertama kali naik haji di Nusantara adalah Bratalegawa asal Sunda, Jawa Barat.
Walaupun tidak diketahui secara pasti, kapan Islam masuk wilayah tatar Pasundan, akan tetapi pada sekitar abad ke 13 ada seseorang bangsawan dari Kerajaan Galuh Sunda yang bernama Bratalegawa. Bratalegawa adalah putra ke 2 dari Raja Bunisora di Kerajaan Galuh yang bernafaskan Hindu, dan sekaligus sepupu dari Dyah Pitaloka Citra Resmi.
Selain seorang bangsawan, Bratalegawa juga terkenal saat itu sebagai seorang saudagar yang kaya raya. Dalam bisnisnya, Bratalegawa sering berhubungan dengan para saudagar lainnya dari Timur Tengah. Dalam perjalanan bisnisnya ke luar negeri, Bratalegawa sering berinteraksi dengan para saudagar dari Timur Tengah yang beragama Islam.
Seringnya berhubungan dengan saudagar dari Arab itu lama-kelamaan Bratalegawa merasa penasaran dan mulai tertarik dengan agama Islam. Dan pada akhirnya, Bratalegawa pun tidak menolak ketika diislamkan oleh para saudagar dari Timur Tengah itu, ketika sedang di India.
Kendati sebenarnya, Bratalegawa adalah seorang penganut Hindu yang ketat, sama seperti saudara-saudaranya, kedua orangtuanya, dan para anggota kerajaan Galuh.
Kerajaan Sunda Galuh ini ibukotanya adalah Kawali (Ciamis sekarang), tanah kelahiran Bratalegawa.
Sebagai Muslim, Bratalegawa yang memang kaya raya, lantas menunaikan ibadah haji. Setelah selesai menjalankan segalanya, Bratalegawa lantas dijuluki sebagai Haji Purwa. Purwa artinya yang utama atau yang pertama.
Karena Bratalegawa lah tokoh Sunda pertama yang berhasil naik haji. Namanya pun lalu menjadi Haji Baharuddin Al-Jawi.
Bukan hanya sekedar mengantongi gelar Haji, Bratalegawa pun ingin menyebarkan agama Islam yang kini dianutnya. Pulang dari Mekkah dia langsung ke tanah kelahirannya Kawali. Haji Baharuddin Al-Jawi ingin menyebarkan Islam di kerajaan Galuh nya.
Yang dilakukan pertama kali untuk itu, Al-Jawi berusaha untuk mengislamkan Ratu Banawati dan saudara kandungnya Girl Dewanti, serta para petinggi kerajaan.
Akan tetapi saking ketatnya pengaruh Hindu, Al-Jawi gagal dalam upayanya. Dalam upayanya Al-Jawi juga dibantu oleh rekan-rekannya dari Arab.
Namun Al-Jawi tidak patah arang. Dia lantas hijrah ke Cirebon (dulu disebut Caruban Girang), masih dalam upaya menyebarkan Islam.
Berlainan dengan di Kawali, masyarakat Caruban Girang malah menyambut positif apa yang diajarkan Al-Jawi. Banyak masyarakat Cirebon lalu memeluk agama Islam. Dan tahukah Anda jika Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) adalah salah satu pengikut Al-Jawi yang meneruskan perjuangan tokoh Sunda pertama yang naik haji tersebut?
Selain banyak kecurangan dan penipuan, pelaksanaan ibadah haji jaman Hindia Belanda memakan waktu yang sangat lama untuk bisa sampai ke Mekkah.
Pada prosesnya, para calon jemaah haji harus berlayar dulu ke Aceh. Dari situ dengan menggunakan kapal dagang mereka ke India. Dari India harus ke Yaman dulu. Jika beruntung, dari situ mereka baru bisa langsung ke Jeddah.
Dari awal proses sampai ke tujuan, bahkan memakan waktu sampai setengah tahun dalam sekali keberangkatan. Pada saat itu belum ada kapal uap.
Kesulitan lainnya, para calon jemaah menghadapi resiko tenggelamnya kapal yang mereka tumpangi, yang menyebabkan mereka terdampar di pulau. Selain itu, para perompak atau bajak laut juga merampok harta benda mereka.
Beruntung kita di jaman sekarang ini, segala sesuatunya menjadi lebih mudah dan aman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H