Bukti adanya kerupuk di Malaysia, Sumatera, dan Kalimantan dapat dilihat dari naskah Melayu pada abad ke 19 karya Abdul Kadir Munsyi. Di naskah tersebut ada disebut-sebut keropok yang merujuk kepada kerupuk.
Sebagai "semah" di Nusantara, orang-orang Belanda kerap melihat orang-orang pribumi sering menjadikan kerupuk sebagai teman makan nasi, lama-lama mereka juga mulai ikut menyukai penganan tersebut.
Beberapa sumber menyebutkan, Sukarma dan Sahidin pada abad ke 19 digadang-gadang sebagai pengusaha kerupuk pertama di Indonesia. Keduanya, Sukarma dan Sahidin, adalah pengusaha asal Tasikmalaya. Mereka pun lantas memulai usahanya pada tahun 1930 di Jalan Kopo, di depan Rumah Sakit Emmanuel Bandung, Jawa Barat, sekarang.
Usaha Sukarma dan Sahidin lantas berkembang dan terkenal, banyak orang tertarik kepada kerupuk buatan mereka.
Para pegawai yang membantu Sukarma dan Sahidin pun kemudian kecipratan ilmu membuat kerupuk yang dimiliki Sukarma dan Sahidin. Dalam perjalanannya kemudian, mereka (para pegawai Sukarma dan Sahidin) pun lantas membuka usaha sendiri.
Tidak dapat diketahui pasti, inilah cikal bakal pengusaha kerupuk pun lantas bertebaran di seluruh pelosok Nusantara.
Bersyukurlah kita menjadi orang Indonesia, karena dapat menikmati penganan dengan mudah dan murah. Tidak ada tempe atau tahu, namun kerupuk tiada yang dapat menggantikannya.
Sebagai negara yang terkait erat secara historis, orang-orang Belanda tentunya sudah akrab dengan hidangan Nusantara, termasuk kerupuk.
Kerupuk dalam Bahasa Belanda sendiri adalah kroepoek, dan dapat ditemui di pasar-pasar swalayan atau toko-toko Asia di negeri kincir angin itu.
Berbagai jenis prawn crackers (kerupuk udang) cukup banyak ditemui di negara-negara tetangga kita, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, sampai ke Tiongkok.
Kerupuk di Indonesia dikenal pula di luar negeri, namanya adalah cracker. Cracker berasal dari bunyi "crack" dalam Bahasa Inggris. Kerupuk berasal dari bunyi "kruuk" atau "kriuk-kriuk".