Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sultan Agung Ternyata Seorang Perokok Berat, Benarkah?

5 Januari 2021   10:05 Diperbarui: 5 Januari 2021   10:29 1103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sultan Agung (milesia.id)


Jika Anda saat ini mengenal rokok, tapi apakah Anda tahu darimana dan kapan asal mula rokok ini mulai dikenal di negeri kita?

Ternyata kata rokok itu berasal dari Bahasa Belanda ro'ken yang berarti pipa. Tidaklah mengherankan, karena meneer-meneer Belanda itu sudah berada dan diam di Indonesia ini selama lebih dari 3,5 abad lamanya.

Banyak lagi istilah yang berasal dari Belanda.

Dari sejumlah babad diketahui jika rokok ini mulai dikenal dan dikonsumsi di Jawa beberapa saat sebelum Sultan Agung mulai naik tahta sebagai Raja Islam Mataram yang ke 3. Sultan Agung berkuasa di Mataram kurun 1613-1645.

Babad Ing Sengkala yang ditulis pada tahun 1602 mengatakan jika udud, demikian orang Jawa menyebutkannya pada saat itu, sudah dikenal masyarakat di Jawa pada tahun 1601.

Apakah Anda mengenal istilah klobot? Klobot adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung. Sehingga dengan demikian, apabila rokok itu disulut, akan terdengar bunyi "kresek-kresek". Nah, itulah bentuk rokok pada awalnya. Dari Jawa, rokok dalam bentuk itu lantas mulai juga  dikenal oleh masyarakat Nusantara.

Dalam Serat Centhini yang ditulis pada tahun 1814 rokok disebut dengan eses atau ses. Selain banyak dikonsumsi masyarakat Jawa, eses juga dinikmati pada saat obrolan antara tuan rumah dengan tamunya, kedua belah pihak ngobrol-ngobrol sembari mengisap eses.

Pada perkembangan selanjutnya, nampaknya masyarakat Jawa sudah mulai mengenal efek samping dari rokok tersebut. Serat Subasita (1914) menyebutkan ada aturan yang tidak tertulis yang melarang merokok di dekat ibu hamil atau anak-anak. Saat bertamu ke rumah orang lain, tamu juga tidak diperbolehkan merokok sembarangan, kecuali jika tuan rumah juga sama-sama merokok.

Serat Subasita juga menyebutkan mengolah dan mengisap rokok pada masa itu bahkan sudah menjadi ciri khas masyarakat Jawa.

Notasi lain tentang rokok ini dapat dilihat dari catatan yang dibuat oleh meneer Belanda, Dr H de Haen, yang tinggal di Jawa pada tahun 1622 dan 1624, juga dari catatan yang ditulis J.W. Winter pada tahun 1824.

Dr H de Haen menyatakan jika Sultan Mataram ke 3 Sultan Agung adalah seorang perokok berat. Buah tak jauh dari pohonnya, ternyata para bangsawan di sana juga melakukan hal yang sama.

Rokok sudah menjadi candu di Jawa terbukti dari catatan J.W. Winter. J.W. Winter bahkan menyebutkan jika lebih dari seperempat pendapatan orang Jawa digunakan untuk mengonsumsi rokok.

"Yang Dipertuan Agung" selain sohor sebagai seorang Raja Jawa yang agung, beliau juga dikenal sebagai seorang pejuang, budayawan, sekaligus seorang filsuf. Bahkan Sultan Agung digadang-gadang sebagai pendiri dari fondasi Kajawen.

Sejak kedatangan Belanda, wilayah Banten direbut oleh meneer-meneer Belanda, dan Batavia (Jakarta sekarang) dijadikan Belanda sebagai wilayah pemukiman mereka. Hal itulah yang memicu Sultan Agung melakukan upaya untuk merebut kembali Banten. Sultan Agung lantas mengirimkan pasukannya untuk merebut kedua wilayah itu dari Belanda.

Tercatat dua kali tentara Sultan Agung menyerbu Batavia. Serbuan pertama pada tahun 1628 Mataram gagal karena kekurangan logistik makanan.

Berdasarkan pengalaman pada penyerangan pertama, Sultan Agung menyerbu lagi Batavia untuk kedua kalinya pada tahun 1929. Total ada 14.000 tentara Mataram yang dikirimkan Sultan Agung ke Batavia dalam dua gelombang. Gelombang pertama dipimpin oleh Dipati Ukur, sedangkan gelombang kedua pada bulan Juni dipimpin oleh Adipati Juminah.

Kali ini Mataram mendirikan lumbung-lumbung beras tersembunyi di Cirebon dan Karawang. Namun mata-mata Belanda akhirnya mengetahui keberadaan logistik tersebut, mereka lantas memberangus semuanya.

Ditambah dengan penyakit kolera dan malaria, maka dengan demikian pasukan Mataram menjadi sangat lemah mendekati Batavia.

Meski begitu, pasukan Mataram ternyata sempat juga mengotori Sungai Ciliwung yang sangat vital bagi denyut nadi Batavia. Alhasil, Batavia lantas diserang wabah kolera. Salah satu korbannya adalah Jan Pieter Zoen Coen, Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Zoen Coen tewas karena kolera.

Budaya Jawa nyata sangat dipengaruhi oleh keberadaan Sultan Agung. Bahkan Sastra Belanda menyebutkan Sultan Agung sebagai "Agoeng de Grote", atau Agung yang Besar.

Jelaslah mengapa sebagai seorang pejuang dan budayawan, melalui SK Presiden tertanggal 3 Nopember 1975 Sultan Agung lantas dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional.

Sultan Agung lahir di Kutha Gede, Mataram pada 1593 dan wafat di Karta, Mataram, pada 1645 (52 tahun).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun