Dalam UU ada disebutkan, tindak kejahatan yang dilakukan di masa bencana nasional, pelakunya dapat terancam hukuman mati.
Jika pada masa modern ini UU sudah diatur lebih adil dan modern, bagaimana dengan hukuman mati yang dilakukan di Nusantara kita pada era kerajaan-kerajaan?
Kendati mungkin sudah ada peraturan, tetapi mungkin tidak seadil-adilnya. Bagaimana pun hukuman mati dilakukan juga pada masa itu dengan cara-cara yang kejam dan HAM.
Sebagai contoh.
Di Aceh, seorang pelaku perzinahan dihukum dengan cara dilemparkan tombak. Jika tombak itu belum berhasil menancap. Maka tombak kedua akan dilemparkan lagi, begitu seterusnya sampai tombak itu menancap ke si pelaku dan berdarah.
Pembuat kejahatan lainnya di negeri Serambi Mekah ini dihukum dengan cara tubuh si pelaku ditidurkan di dalam sebuah lesung. Lantas kepala si pelaku ditumbuk berkali-kali layaknya menumbuk padi. Sampai kepala si pelaku remuk dan meninggal.
Di Jawa (pada era Kerajaan Islam). Seorang pelaku kejahatan diharuskan bergelut dengan harimau. Jika si pelaku sudah tercabik-cabik tapi belum mati juga, maka tubuh si terpidana akan disirami air jeruk nipis atau air garam.
Tentu saja, hal tersebut akan menambah perih luka yang diderita, sampai akhirnya meninggal.
Di era Kerajaan Hindu-Buddha, hukumannya bikin bulu kuduk berdiri. Siapa pun yang terbukti bersalah karena melakukan kejahatan, akan dihukum mati.
Si terpidana akan dibawa ke suatu tempat. Seseorang memegang tangan si terpidana. Lantas seseorang lainnya yang bertindak sebagai algojo lantas menghujamkan keris berulang-ulang ke jantung si terpidana.