Ketika Perang Dunia ke II meletus, masyarakat Xinjiang berusaha bergabung dengan Uni Soviet.
Namun lantas Cina berhasil memaksa mereka untuk kembali menjadi kedaulatan negeri Panda pada 1949.
Warga Uighur juga dicap ingin melepaskan diri dari Beijing. Itulah cikal bakal mengapa Uighur di Xinjiang dibenci Beijing.
Situasi semakin memburuk. Konon sekitar 10 juta warga Uighur dipersulit untuk membuat paspor.
Di ekonomi, Beijing juga lebih mengutamakan kebijaksanaannya untuk etnis Han.
Sejumlah kelompok Uighur yang memberontak atas diskriminasi itu banyak yang ditembak mati, mereka dituding bagian dari jaringan teroris internasional.
Beijing menuduh ada pihak asing di balik gerakan Uighur. Asing dituduh menghasut Uighur untuk memberontak. Beijing mencap mereka sebagai kaum radikal.
Pada kesempatan pertemuan dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta, Duta Besar Cina untuk Indonesia membantah isu-isu yang menyudutkan Beijing.
"Kaum Uighur hidup damai, setiap warga negara bebas menjalankan keyakinannya. Mereka menikmati kebebasan di bawah undang-undang Cina. Kenyataan nya jauh berbeda dengan apa yang dimuat media-media barat," katanya.
Namun pihak WUC, Organisasi Uighur, membantah pernyataannya itu. Mereka mengatakan punya setumpuk bukti bahwa Cina menindas Muslim Uighur sejak lama. "Tudingan Uighur radikal dan bergabung dengan jaringan teroris internasional adalah dusta," kata mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI