Pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi mewanti-wanti agar liburan panjang akhir tahun (Nataru) bulan depan agar dikurangi. Pertimbangannya adalah Jokowi bercermin pada dua liburan panjang yang terakhir, yaitu pada bulan Agustus (Proklamasi Kemerdekaan) dan Oktober (Maulid Nabi Muhammad SAW).
Dimana setelahnya terjadi kenaikan kasus Covid-19, karena masyarakat sulit untuk menerapkan aturan protokol kesehatan, setidaknya 3M, yaitu Memakai masker, Menjaga jarak, dan Mencuci tangan.
Liburan yang sudah dijadwalkan itu adalah dari tanggal 24 Desember 2020 sampai dengan 3 Januari 2021, atau 11 hari.
Bagaimana memangkasnya? Nampaknya pemerintah bakal kesulitan untuk menerapkannya, karena Hari Natal (25/12) adalah hari Kamis, 27 adalah Minggu. Tanggal 1 (Tahun Baru) Kamis. Bagaimana memangkasnya?
Apakah antara tanggal 28 sampai dengan 31 yang dipangkas? Mereka sedang di luar kota!
Dengan alasan itu, saya pesimis pemerintah akan jadi mengurangi libur. Libur Nataru masih 11 hari seperti yang direncanakan.
Jadi ini adalah seperti buah simalakama, ada plus minusnya tersendiri soal pemangkasan ini.
Sudah dipastikan jika liburan pengeluaran masyarakat akan bertambah, semakin panjang liburan semakin banyak pengeluaran yang dibelanjakan.
Gunawan Benjamin, seorang Analis Pasar Keuangan, mengatakan dalam libur (panjang) 2 hari saja seorang wisatawan lokal menghabiskan uang antara Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta. Belum termasuk biaya penginapan, transportasi, dan biaya lainnya.
Jika ada liburan yang dipangkas, maka keuntungan para pengusaha yang berkaitan dengan liburan itu juga akan terpangkas. Dalam hal ini contohnya, pengusaha penginapan, pedagang tradisional, pengusaha kuliner, dan sebagainya.
Akan ada aktivitas ekonomi yang menggeliat dari adanya liburan panjang. Namun masalahnya, seberapa kuat daya beli masyarakat dalam membelanjakan uangnya?