Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Candi Cangkuang, Satu-satunya Candi Hindu yang Diketemukan di Tatar Sunda

12 Oktober 2020   10:02 Diperbarui: 12 Oktober 2020   10:05 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Candi Cangkuang (airmagz.com)


Agama Hindu ternyata pernah ada di Pulau Jawa. Hal tersebut terbukti dari warisan budaya yang masih tetap eksis hingga sekarang.

Kota Garut di Jawa Barat terkenal dengan dodolnya. Jika Anda mendengar Garut, yang pertama-tama muncul dalam benak adalah penganannya dodol yang terkenal dan kerap dijadikan oleh-oleh.

Namun wisata Garut bukan hanya dodol. Selain kuliner, Garut juga mempunyai 42 lokasi wisata yang sangat cocok untuk menghabiskan waktu liburan bersama keluarga atau teman-teman Anda. 

Selain indah mempesona, Garut juga mempunyai wisata lainnya, dari bahari, alam, sampai ke wisata sejarah.

Apakah Anda pernah mengunjungi atau mempunyai rencana untuk mengunjungi tempat ini?

Garut yang terkenal dengan domba Garut nya ini, pernah saya sambangi bersama teman-teman beberapa tahun yang lalu. Dalam perjalanan menuju Cirebon, kami singgah di dan menginap semalam di sebuah hotel di Jeruk Garut ini.

Sembari tak melewatkan membeli dodol, kami pun meneruskan rencana untuk menyambangi Candi Cangkuang yang berlokasi di Kampung Pulo, Wilayah Cangkuang, Kecamatan Leles.

Tahukah Anda candi ini adalah pertama kali dan satu-satunya candi Hindu yang ditemukan dan berada di Tatar Pasundan?

Dinamakan Candi Cangkuang karena situs ini berada di desa Cangkuang, Garut, Jawa Barat. Cangkuang sendiri adalah nama tanaman sejenis pandan (pandanus furcatus) yang banyak terdapat di sekitar berdirinya candi Hindu ini.

Daun Cangkuang ini bisa dijadikan bahan untuk membuat pembungkus, tikar, atau tudung.

Berjarak tiga meter dari candi ada sebongkah makam. Pemandu wisata yang mendampingi kami semenjak memasuki kawasan wisata sejarah ini, mengatakan itu adalah makam Embah Dalem Arief Muhammad, seorang pemuka agama Islam yang sangat dihormati dan dipercaya sebagai leluhur penduduk Kampung Pulo.

Banyak pernak-pernik yang dijual ketika kami memasuki wilayah cagar budaya ini.

Cagar budaya Cangkuang ini terletak di sebuah pulau kecil yang berupa daratan di tengah situ kecil. Situ: danau. Oleh karenanya bagi Anda yang ingin mencapai cagar budaya ini maka Anda harus naik rakit.

Selain candi, di Kampung Pulo yang dikelilingi situ ini, juga terdapat pemukiman adat Kampung Pulo, yang juga menjadi bagian dari area cagar budaya.

Selain daratan yang ada candinya, di situ ini juga ada dua pulau lainnya yang lebih kecil.

Volderman dalam bukunya Notulen Bataviaasch Genotschaap yang terbit tahun 1893 menyebut-nyebut di bukit Kampung Pulo, Leles, ada arca yang rusak dan sebuah makam di dekatnya.

Berdasarkan buku itu, peneliti Uka Tjandrasasmita dan Harsoyo, pada tahun 1966 memang terbukti menemukan arca Hindu Syiwa dan sebuah makam di dekatnya. Itulah makam leluhur Kampung Pulo, Arief Muhammad.

Dari penemuan arca Syiwa dan bentuk candi, hampir dapat dipastikan ini adalah candi peninggalan agama Hindu, kira-kira pada abad ke 8 Masehi.

Perjalanan dari Bandung dan tiba di Garut pada menjelang malam, menyebabkan kami harus menginap dulu di sebuah penginapan di tengah kota Garut. Kunjungan yang direncanakan untuk melihat Candi Cangkuang dilaksanakan pada keesokan harinya, berangkat dari penginapan sekitar pukul 09.00 WIB.

Sayang sekali, saya tidak sempat untuk memotret candi atau alam di sekitarnya. Namun teman-teman mengabadikannya dengan kamera yang mereka bawa.

Agar berkesan, selain membeli oleh-oleh dodol, kami juga membeli pernak-pernik yang tersedia di sekitar lokasi wisata.

Sesudah selesai berkunjung ke Candi Cangkuang, kami melanjutkan perjalanan dengan minibus sewaan menuju ke Cirebon untuk berwisata sejarah ke Kesultanan Cirebon.

Perjalanan yang sangat berkesan, ditambah dengan berkali-kali hujan yang cukup deras mengguyur sepanjang wisata kami.

Di lokasi Kasepuhan Cirebon cukup banyak yang kami lihat, di antaranya kereta (yang ditarik kuda), kendaraan yang biasa Sultan gunakan.

Para pengunjung yang melihat kereta ini saling melempar koin-koin perak ke arah kereta atau istilahnya nyawer. Kami juga melihat sumur.

Sepanjang memasuki pendopo Sultan, banyak sekali pengemis yang meminta-minta uang kepada para pengunjung yang datang. Bila kami acuh saja, maka mereka menarik-narik celana kami, sedikit memaksa untuk diberi uang.

Secara keseluruhan, para penduduk di lokasi yang kami kunjungi memang ramah dan baik hati. Dan perjalanan wisata kami memang sangat memuaskan dan berkesan.

Kini, di masa pandemi Covid-19 sekarang ini kami tidak mengetahui situasi di tempat yang kami kunjungi dulu. Apakah ditutup?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun