Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Cukai dan Harga Rokok Naik, Efektif Menekan Jumlah Perokok?

27 September 2020   10:03 Diperbarui: 27 September 2020   15:30 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Apapun alasan pemerintah menaikkan harga rokok, setujukah Anda dengan keputusan Menteri Keuangan itu?

Seperti disinyalir, pemerintah berencana untuk menaikkan cukai rokok mulai tahun 2021 mendatang.

Dalam hal ini, target yang dipatok dari kenaikan cukai itu adalah Rp 172,8 triliun yang akan masuk ke kas negara, atau lebih banyak 4,8 persen dari pendapatan tahun sebelumnya.

Febrio Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, menyatakan kebijakan menaikkan cukai produk tembakau ini bukan semata-mata untuk menambah pundi-pundi kas negara, akan tetapi sekaligus juga strategi untuk mengurangi jumlah perokok di tanah air.

Asumsinya adalah dengan dinaikkannya cukai, maka keuntungan industri rokok dengan sendirinya akan mengalami penurunan. Untuk menstabilkan keuntungan, maka industri rokok ini harus menaikkan harga jual produknya.

Orang akan berpikir dua kali lipat dengan harga jual rokok yang tinggi untuk dapat menikmati produk yang dianggapnya sebagai bagian dari gaya hidup itu. Apalagi untuk anak-anak yang belum mempunyai penghasilan sendiri.

Apakah strategi ini berhasil, namun hal tersebut harus dicoba.

"Bukan untuk sekedar pemasukan negara saja, tapi nomor satu adalah kesehatan," ujar Febrio dalam satu diskusi virtual, Jum'at (25/9/2020).

Senada dengan saya, Febrio juga mengiyakan kendati faktor harga tidak terlalu berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan konsumsi, namun setidaknya bisa menekan kenaikannya.

Jika kenaikan jumlah perokok dapat ditekan, maka hal tersebut juga akan lebih menguntungkan bagi BPJS Kesehatan. Penyakit-penyakit akibat rokok di antaranya jantung, kanker, dan sebagainya menjadi faktor yang sangat menggerogoti keuangan BPJS Kesehatan.

Tentu saja menaikkan cukai rokok atau HJE (Harga Jual Eceran) produk tembakau adalah salah satu cara pemerintah untuk mengurangi konsumsi rokok di kalangan masyarakat.

Strategi lainnya untuk menekan jumlah perokok ini adalah dengan membatasi iklan atau sponsor produk rokok, umpamanya iklan rokok hanya boleh ditayangkan di televisi di atas jam 10 malam. 

Cara lainnya, para produsen rokok diharuskan mencantumkan label peringatan tentang bahaya dari merokok itu, juga disertai gambar-gambar yang mengerikan. 

Mall-mall, kantor, atau perusahaan diwajibkan untuk menyediakan ruangan khusus bagi perokok. Karena bukan saja yang aktif merokok membahayakan kesehatan, akan tetapi perokok pasif juga sama bahayanya. Perokok pasif adalah orang yang tidak merokok akan tetapi terpapar asap rokok dari si perokok.

Ada lagi KTR (Kawasan Tanpa Rokok), yang diterapkan di tempat-tempat yang berbahaya seperti rumah sakit,dan sebagainya.

Penyuluhan langsung ke masyarakat, melalui pendidikan juga dijelaskan mengenai bahayanya merokok.

Polemik yang dirasakan Kementerian Keuangan saat ini adalah di saat penerimaan cukai dari rokok adalah yang terbesar dari cukai lainnya. Kontribusi yang besar itu sangat menggiurkan untuk memulihkan ekonomi, Kemenkeu sangat membutuhkan dana yang dapat dipakai untuk kebutuhan lainnya.

Apakah kenaikan cukai ini efektif menekan jumlah perokok terkait kesehatan? Pemerintah juga harus memikirkan industri hasil tembakau yang menimbulkan multiplier effect yang besar.

"Berdampak kepada IHT (Industri Hasil Tembakau) petani," kata Nirwala Dwi Haryanto, Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Bea dan Cukai.

Memang menggiurkan kontribusi cukai rokok ini. Haryanto menerangkan target penerimaan cukai dari rokok itu bahkan mencapai lebih dari 100 persen (100,2%) pada 2017. Begitu pun setahun sesudahnya, pada 2018 targetnya juga melebihi 100 persen (103,8%).

Industri rokok ini berkontribusi 61,4% (Rp 200 triliun) dari hasil cukai lainnya! Sungguh menggiurkan untuk digunakan sebagai pemulihan ekonomi.

Timbul pertanyaan sekarang, apakah di tengah pandemi Covid-19 saat ini, rokok juga masih menggiurkan?

Jawaban dari pertanyaan itu adalah, ya. Rokok juga tetap mengukir prestasi di saat pandemi Covid-19 sekarang ini.

Haryanto menjelaskan Indonesia menjadi nomor satu yang kontribusi rokoknya paling besar di Asia Tenggara. "Nomor dua adalah Filipina," ucapnya.

Dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan seperti yang sudah disebutkan di atas, yaitu hasil cukai yang menggiurkan, kesehatan, rokok palsu, petani, dan tenaga kerja, maka pemerintah akan menetapkan harga rokok yang baru yang mulai berlaku memasuki tahun 2021 mendatang.

BKF (Badan Kebijakan Fiskal) Kementerian Keuangan mengatakan kenaikan CHT (Cukai Hasil Tembakau) mendatang adalah sebesar 23 persen, dan HJE (Harga Jual Eceran) rata-rata 35 persen.

Pada tahun-tahun lalu, pengumuman CHT ini biasanya diumumkan oleh pemerintah pada akhir bulan September. Namun untuk 2021, sampai saat ini belum ada kabarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun