Sudah sangat sering kita mendengar himbauan agar tidak merokok, karena seorang perokok, baik aktif maupun pasif sangat berisiko menimbulkan berbagai penyakit yang sangat berbahaya bahkan kematian.
Dalam perjalanannya, beberapa bahaya dari merokok pada umumnya adalah serangan jantung, kanker, diabetes, gangguan kehamilan dan janin, serta disfungsi ereksi.
Lantas apa ada kaitannya aktivitas merokok dengan peningkatan risiko terkena serangan yang sedang populer saat ini, yaitu Covid-19?
Sejumlah penelitian, salah satunya yang dilakukan para peneliti dari UI (Universitas Indonesia) menyebutkan bahwa seorang perokok lebih berisiko terkena Covid-19 daripada mereka yang bukan perokok.
Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), FISR, FAPSR mengonfirmasi bahwa seorang perokok mengalami risiko terkena Covid-19 yang berat 1,45 hingga 2 kali lipat ketimbang mereka yang tidak merokok.
"Bukan hanya rentan terkena risiko Covid-19 yang berat, penderita Covid-19 yang merokok juga 14 kali memiliki risiko mengalami kematian," kata dr. Dwi, Rabu (23/9/2020) dalam Konferensi Pers bertajuk "Rokok di Era Pandemi Covid-19".
Dr. Dwi mengemukakan hal tersebut berdasarkan kepada banyak penelitian.
"Patanavanich menganalisa 12 penelitian dan menemukan hubungan yang parah antara kebiasaan merokok dengan timbulnya Covid-19. Dari 9.027 pasien, sejumlah 901 pasien kondisinya memburuk," tuturnya.
Dr. Dwi juga mengemukakan riset lain yang dilakukan di Cina. Penelitian yang melibatkan 1.000 penderita itu menemukan perokok mengalami komplikasi yang berat.
"Perokok lebih banyak yang masuk ICU ketimbang yang bukan perokok," kata dr. Dwi.
Survei UI
Tak kalah dengan di luar negeri, UI (Universitas Indonesia) juga melakukan survei tentang bagaimana dampaknya seorang perokok terhadap kerentanan terkena Covid-19.
Survei dilakukan kepada partisipan yang berjumlah 651 orang dari 25 propinsi di Indonesia. Para responden itu terdiri dari bukan perokok, mantan perokok (sudah bertaubat), dan perokok aktif.
Penelitian yang dilakukan oleh Krisna Puji Rahmayanti, S.I.A., M.P.A. dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia itu menemukan bahwa 84,1 persen dari mereka yang bukan perokok/mantan perokok mempercayai bahwa merokok menambah risiko seseorang gampang terpapar Covid-19.
Sedangkan perokok aktif yang mempercayai rokok dapat menambah kerentanan terkena Covid-19 hanya 36,4 persen. Selebihnya, yaitu 63,6 persen tidak percaya rokok dapat menambah kerentanan terkena penyakit Covid-19.
Data ini menunjukkan tingkat kepercayaan mereka yang tidak merokok bahwa udud menambah kerentanan, lebih tinggi dibandingkan dengan perokok aktif.
"Partisipan yang tidak merokok mayoritas (87,2 persen) percaya bahwa perokok yang terpapar Covid-19 akan mengalami gejala yang lebih parah. Partisipan perokok aktif tidak percaya bahwa perokok yang terpapar Covid-19 akan mengalami gejala yang lebih parah," jelas Puji, Selasa (15/9/2020) dalam Webinar Komnas PT.
Strategi mengurangi jumlah perokok
Tahu bahayanya merokok, namun sangat disayangkan, beberapa dari penikmat udud ini sangat sulit untuk lepas dari kebiasaan yang buruk tersebut.
Berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah untuk mengendalikan pemakaian tembakau, bahan untuk memproduksi rokok. Di antaranya adalah dengan peringatan bahaya merokok yang ditempelkan di bungkusnya.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, mengapa larangan merokok yang dicantumkan dalam pamflet di sejumlah lokasi secara besar-besaran namun tidak memberikan dampak yang efektif? Apakah ada yang salah dengan cara ini?
Kebiasaan merokok dianggap wajar saja di kalangan masyarakat dan akses untuk mendapatkan rokok juga mudah dan sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Rokok kretek, misalnya sudah menjadi tradisi dalam menjalin keakraban sosial.
Kebiasaan merokok ini juga seiring dengan jumlah perokok di negeri ini yang terus meningkat.
Data tahun 2019 dari Seatca (Southeast Asia Tobacco Control Alliance) jumlah perokok di negara kita ada 65,20 juta orang yang menempatkan Indonesia sebagai negara terbanyak jumlah perokok nya di Asia Tenggara.
Selain menggunakan simbol-simbol, pemerintah juga menggunakan cara lain untuk menekan jumlah penikmat rokok ini dengan cara menaikkan cukai nya dan menaikkan HJE (Harga Eceran Rokok), memberlakukan KTR (Kawasan Tanpa Rokok), membatasi iklan rokok, dan melakukan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat.
Jumlah perokok yang mengalami peningkatan berdasarkan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) dari tahun ke tahun tentunya berdampak kepada meningkatnya krisis keuangan pada BPJS. Jika ada 10 persen saja yang berujung penyakit kronis maka hal tersebut akan menggerogoti keuangan BPJS karena biaya kesehatan yang mahal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H