DOP Veronica Koman ternyata tidak sendirian dalam misinya sebagai pejuang HAM Papua, chuffed.org, Selasa (1/9/2020) menulis pernyataan Naom Chomsky, seorang aktivis politik asal Amerika Serikat, perihal VKL (Veronica Koman Liau).
Chomsky mengonfirmasi kekerasan yang terjadi kepada orang-orang Papua adalah pelanggaran HAM. Dan pejuangnya, VKL, menurut pria yang juga dikenal sebagai seorang filsuf itu, sudah berbuat apa yang benar dengan keberanian dalam menyuarakan hak-hak orang Papua.
Profesor Linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts itu juga mengecam keras kriminalisasi yang dilakukan kepada VKL.
"VKL sudah bekerja keras dengan penuh keberanian membela HAM Papua, namun kini harus menghadapi sanksi yang keras untuk pekerjaan terhormatnya," kata pria berusia 91 tahun itu.
Pria yang dikenal sebagai aktivis anti kapitalis dan anti imperialis itu juga menyatakan setiap upaya harus dilakukan untuk membela VKL dan mengakhiri tindak kekerasan yang dilakukan kepada masyarakat Papua.
Seperti diketahui, VKL adalah salah seorang penerima beasiswa LPDP dari Kementerian Keuangan. Pada tahun 2017 dia menempuh studi di Australian National University.
Dua tahun dijalaninya sebagai mahasiswa, dia pun akhirnya meraih gelar S2 di bidang hukum.
Sesuai dengan kontrak yang ditandatangani, para mahasiswa penerima beasiswa LPDP, termasuk VKL, setelah mereka menyelesaikan studinya, maka para mahasiswa itu harus kembali dan bekerja di Indonesia, mengabdikan ilmunya untuk bangsa.
Jika si mahasiswa melanggar ketentuan tersebut, maka dia diwajibkan untuk mengembalikan beasiswa yang diterimanya.
Pihak LPDP telah mengirimkan surat kepada VKL agar mengembalikan dana yang diberikan sebesar Rp 773,8 juta karena VKL tidak kembali ke Indonesia.
Akan tetapi VKL membantah hal tersebut. Menurut wanita kelahiran Medan, 14 Juni 1988 (32 tahun) itu, dirinya sudah pulang ke Indonesia pada sejak September 2019 seusai menghadiri acara wisuda.
"Semasa itu saya dedikasi untuk HAM Papua di Jayapura. Saat itu saya tetap bersuara ketika internet dimatikan di Papua. Saya tetap posting video dan foto orang Papua yang turun ke jalan mengecam rasialisme dan meminta referendum penentuan nasib sendiri" tuturnya.
Polisi Indonesia menetapkan VKL sebagai DPO dan mengirim red notice kepada interpol dikarenakan VKL dituding sebagai dalang pemicu provokasi atas kerusuhan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.
"Reuters menyebutkan upaya-upaya berbagai ancaman kepada saya dibekingi dan dibiayai oleh TNI," tutur VKL
"Kementerian Keuangan mengabaikan fakta bahwa saya sudah kembali ke Indonesia dan berkeinginan ke tanah air jika tidak ada ancaman yang membahayakan diri," kata Koman lagi.
Ada kisah haru bagi Koman yang dia posting di akun Facebook-nya (14 Agustus 2020). VKL menceritakan betapa dia menangis, ketika membuat esai saat kuliah di Australian National University. Rerata esai yang dia kerjakan selalu berhubungan dengan Papua.
Dalam facebooknya, Koman mengisahkan bahwa dia pasrah dibuang NKRI. "Berikan saya kepada Papua. Kami punya harga diri," tulisnya.
Dalam postingannya itu, Koman merasa pengorbanannya dianggap sebagai pengkhianatan bagi NKRI.
"Dalam setidaknya 3 esai yang dibuat saya meneteskan air mata, karena semakin tahu kebusukan NKRI saat riset," tulis VKL lagi.
Semua demi membela hak-hak dan kebebasan rakyat Papua.
Bahkan, Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International, mengatakan bahwa tuntutan pengembalian dana LPDP terhadap VKL adalah suatu bentuk kriminalisasi dan intimidasi untuk membuat lemah VKL dalam mengungkapkan kekerasan di Papua.
"Intimidasi terhadap pembela HAM (Hak Asasi Manusia) jelas merupakan pelanggaran HAM," tegas Hamid, Jum'at (14/8/2020).
Dengan mengungkap dugaan kekerasan HAM, menurut Usman, Indonesia menunjukkan komitmen dalam mengamalkan Pancasila.
Indonesia seharusnya mendukung, bukan malah memberi sanksi.
Oleh karenanya Amnesty International Australia dan Indonesia mendesak pemerintah Indonesia membatalkan hukuman finansial tersebut.
Sementara itu, Paulus Suryanta Ginting, seorang aktivis untuk Papua, mengonfirmasi tuntutan pengembalian dana LPDP itu adalah upaya pemerintah untuk menakut-nakuti.
"Berkesan menakut-nakuti terhadap penerima LPDP lainnya untuk mengkritik pemerintah," tutur Suryanta.
Bukan dari dua orang yang disebutkan di atas saja, LPDP juga menjadi trending topic di media sosial dan LPDP mendapat banyak kecaman dari warganet.
Lebih dari 20 ribu cuitan yang mengecam LPDP.
Tujuannya bukan minta duit...
Aktivis berdedikasi malah ditekan...
Dan banyak lagi warganet yang tidak terima dan LPPD dinilai tebang pilih dalam memperkarakan soal beasiswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H