"Little Dutch" demikian pemerintah kolonial Belanda menjuluki kota yang terletak di ketinggian 250-650 meter tersebut.
Jika Anda berkunjung ke sana, Anda akan menemui gedung-gedung bernuansa khas Eropa, sehingga suasana pun rasanya seperti di benua biru itu.
Willem Hendrik de Grave, seorang insinyur ahli geologi jebolan Akademi Delft ditugaskan Kerajaan Belanda untuk melakukan penelitian di wilayah koloni Belanda, termasuk Indonesia. Pria kelahiran Franeker, 15 April 1840 tersebut ditugaskan di Sawahlunto dan Ombilin.
De Grave sendiri lantas meninggal dalam usia muda, 32 tahun, karena mengalami kecelakaan di Sungai Kuantan pada tahun 1872.
Setelah insinyur tersebut meninggal, hasil penelitiannya di Sawahlunto kemudian dipublikasikan.
Setelah melihat hasil penelitian tersebut, pemerintah Kerajaan Belanda mulai memutuskan untuk membuka dan mengekploitasi batu bara di "Little Dutch".
Infrastruktur pun mulai dibangun. Pelabuhan, rel kereta, dan jalan.
Pembangunan infrastruktur untuk mengangkut batubara itu juga termasuk pembangunan rumah-rumah untuk pegawai dan buruh, kantor-kantor, pembangkit uap dan tenaga listrik, gedung-gedung hiburan, dan gereja-gereja.
Nuansa pembangunan di Sawahlunto itu dibangun sesuai dengan kota-kota di Belanda agar orang-orang dari Negeri Kincir Angin yang bekerja di sana betah dan kerasan seperti di kampung halamannya sendiri.
Sesudah dibangun, "Little Dutch" menjadi terkenal ke seluruh Eropa dan mendorong lahirnya revolusi industri di Benua Biru tersebut dengan pasokan batubaranya yang mencapai sekian ribu ton. Dengan menggunakan kapal laut.
Belanda merubah Sawahlunto yang dulunya terpencil menjadi kota industri. Dalam usianya yang sudah lebih dari satu abad, pertambangan batubara di sana kini dikelola oleh PT Bukit Asam Tbk.