KPK baru-baru ini menemukan kasus korupsi yang menghebohkan. Bupati Kudus, Jawa Tengah, M Tamzil ditangkap KPK. M Tamzil dituding meminta uang Rp 250 juta kepada Agus, dan sebagai imbalannya, Agus diberikan hadiah menduduki jabatan di Pemkab Kudus. Lantas uang sejumlah Rp 250 juta itu oleh Tamzil digunakan untuk membayar utang pribadi.
Kasus korupsi apa pun itu, memang sudah biasa ditangani KPK. Namun yang berbeda, dalam hal ini, Bupati Kudus M Tamzil sudah melakukan pencolengan uang negara itu kedua kalinya. Tamzil tidak jera mengulang perbuatannya.
Ia pernah dibui 1 tahun 10 bulan pada 2015 subsider tiga bulan penjara dan denda Rp 100 juta. Saat itu ia aktif sebagai Bupati Kudus periode 2003-2008, ia mencoleng uang bantuan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus tahun 2004-2005.
Karena kedua kalinya ia mencuri, maka KPK memberikan status Tamzil sebagai residivis. Jika Anda membuka KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), residivis diartikan sebagai penjahat kambuhan, orang yang pernah dibui dan melakukan kejahatan lagi.
Coba kita simak dulu, ada pasal dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 yang menyatakan seorang kepala daerah mantan terpidana diperbolehkan untuk mencalonkan lagi mengikuti pemilihan kepala daerah, asalkan dia secara jujur dan terbuka mengumumkan kepada publik bahwa dirinya memang mantan terpidana.
Tamzil lihai memanfaatkan celah. Tahun 2018 ia kembali mencalonkan dirinya dalam pemilihan Bupati Kudus, Jawa Tengah. Dengan demikian, ia sudah memenuhi syarat pencalonan dan ia tidak memiliki utang yang berpotensi merugikan negara dan sudah mengemukakan kepada publik bahwa ia mantan terpidana.
Dan kenyataan, M Tamzil kembali menduduki jabatan sebagai Bupati Kudus periode 2018-2023.
Atas perbuatan kedua itu, sejumlah media memberitakan, KPK mempertimbangkan ancaman hukuman mati kepada M Tamzil.
Donal Fariz, peneliti dari ICW (Indonesia Corruption Watch) mengatakan hukuman mati kepada M Tamzil dimungkinkan merujuk kepada UU Tipikor pasal 2 ayat 2. Seorang residivis bisa dijatuhi hukuman mati maksimal.
KPK punya nyali untuk menerapkannya?
Ada pasal tentang Pemberantasan Korupsi yang menyatakan tindak korupsi dalam keadaan yang membahayakan negara. Dalam hal itu, negara sedang krisis, sedang terjadi bencana alam nasional, atau mengulang tindak korupsi.