Kursi Ketua MPR ramai diperebutkan. Dari Gerindra, PKB, Demokrat, PPP, Golkar, dan PAN.
Ada beberapa pihak yang menganggap kursi Ketua MPR itu penting dan strategis.
Pendapat itu antara lain disampaikan PAN (Partai Amanat Nasional). Wakil Sekretaris Jenderal PAN Saleh Partaonan Daulay bahkan mengatakan kepada awak media, Kamis (25/7/2019) bahwa kursi Ketua MPR itu penting dan strategis, maka wajarlah jika banyak partai yang menginginkannya.
Partaonan mengatakan MPR 1 merupakan lambang persatuan sekaligus penjaga gawang utama Pancasila dan UUD 1945.
Partaonan yang juga Sekretaris Fraksi PAN MPR ini berharap agar pimpinan MPR nantinya dapat sama-sama mengaspirasikan seluruh kepentingan mereka yang duduk di DPR dan DPD, sehingga dengan demikian komponen DPR dan DPD dapat berkomunikasi mudah satu sama lain demi urgensi politik kebangsaan.
Jadi, MPR itu sebagai simbol yang menyatukan fungsi DPR dan DPD. Katanya.
Apakah kursi Ketua MPR yang sekarang diduduki Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan masih diinginkan matahari putih periode 2019-2024?
Partaonan tidak menjawab dengan gamblang, tapi ia menegaskan PAN mempunyai tanggungjawab untuk mencari pimpinan MPR yang mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
Untuk itu, partainya akan melakukan komunikasi lintas partai dan juga dengan mereka di DPD. Partaonan berharap seluruh komponen yang ada dapat terwakili aspirasinya, dipilih secara aklamasi, musyawarah mufakat. "Semacam rekonsiliasi kebangsaan," jelas Partaonan.
Sementara itu, pakar hukum tatanegara Yusril Ihza Mahendra menilai kursi Ketua MPR sudah menjadi tradisi diserahkan kepada kepada mereka yang memerlukan jabatan agar politik tetap stabil.
Ketua Umum PBB itu menjelaskan, semenjak awal reformasi, kursi Ketua MPR menjadi semacam bagi-bagi kue untuk tetap menjaga stabilitas politik.
Yusril mencontohkan politisi senior Amien Rais. Di awal reformasi, Amien Rais tidak ikut kompetisi calon presiden, tetapi Amien lebih menginginkan untuk menjadi Ketua MPR, dan partai-partai menyetujui itu.
Yusril menilai wajar jika kursi MPR 1 menjadi saling rebut dari parpol-parpol, karena peraturan seperti Ketua DPR tidak ada pada MPR 1. Ketua DPR otomatis dipimpin oleh parpol yang memenangkan suara paling banyak dalam pemilu. Dalam hal tersebut, PDI-P akan memilih wakilnya (Puan Maharani) karena mereka juara di pemilu 2019 ini.
Dalam situasi normal, Ketua MPR berfungsi sebagai simbol persatuan. Adapun tugas Ketua MPR dan anak buahnya adalah merubah UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden, serta memberikan putusan akhir kalau Presiden berbuat sewenang-wenang. Tugas lainnya adalah memilih Presiden dan Wakil Presiden jika terjadi sesuatu yang menyebabkan Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat memangku jabatannya lagi.
Tapi dengan catatan, keputusan yang diambil Ketua harus mendapatkan persetujuan dari para wakil Ketua MPR dalam suatu rapat paripurna pimpinan.
Pandangan berbeda diungkapkan oleh ahli hukum tatanegara Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung, Indra Prawira. Indra menilai perebutan kursi Ketua MPR cuma perebutan dapur saja. "Paling-paling larinya ke gaji, tunjangan, dan fasilitas yang akan diberikan," kata Indra, Rabu (24/7/2019).
Ya, dia menganggap kursi MPR 1 sudah tidak krusial lagi, Indra juga tidak melihat kinerja MPR dalam kurun 5 hingga 10 tahun mendatang.
Indra menerangkan, Ketua MPR sekarang bukan apa-apa. Ketua MPR itu dulunya memang merubah UUD 45, mengangkat dan mencopot jabatan Presiden (dan Wakil Presiden). Tapi sekarang tidak demikian, jadi itulah MPR tidak punya kerjaan 5 sampai 10 tahun mendatang.
Indra juga melihat, kini kursi MPR 1 diperebutkan parpol-parpol. Alasan mereka adalah untuk memberi amandemen UUD 45. Indra mengingatkan sudah sering, sekarang ke-lima kali amandemen diwacanakan, tapi tidak kejadian. "Nggak mungkin," paparnya.
Lebih lanjut, Indra merasa pesimistis amandemen UUD. "Seburuk-buruknya UUD, kalau masih menjamin konstelasi politik, maka UUD akan dipertahankan. Sekarang mereka bisa bagi-bagi kue jabatan. Nah, kalau dirubah, mereka kan jadi susah sendiri,".
Diterangkan lebih jauh, tugas MPR itu kan antara lain memberhentikan Presiden kalau Presiden sewenang-wenang, melanggar UUD, dsb. Tapi peran MPR itu kan tidak langsung dibawa ke MPR, harus diajukan dulu ke MK (Mahkamah Konstitusi) untuk diputuskan benar tidaknya Presiden bertindak sewenang-wenang.Â
Kalau sudah ditentukan MK, barulah MPR bersidang untuk mencopot jabatan Presiden dan mengangkat Presiden baru. "Tapi itu kan buntut, strategisnya bukan mereka, tapi MK kan?" jelas Indra.
Fungsi MPR sekarang ini sudah sangat berbeda dengan fungsi MPR jaman baheula.
Gimana, oke nggak pandangan Bung Indra?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H