Masih ingat Meliana? Sebagian dari Anda tentu belum melupakan siapa dia. Dialah pengritik kumandang suara azan di Sumatera Utara beberapa waktu lalu.
Kasus itu bermula ketika Meliana meminta kepada seseorang untuk mengecilkan saja kumandang suara azan. Kejadian itu terjadi di Jalan Karya Lingkungan 1 Kelurahan Tanjungbalai Selatan, Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara pada bulan Juli 2016.
Lantas kata-kata permintaan Meliana tersebut dianggap berbau SARA, Meliana dianggap menyinggung serta membuat panas warga.
Celakanya lagi, yang mengucapkan perkataan itu dilakukan oleh kesukuan Meliana. Provokator lantas membakar warga agar merusak Meliana pada 29 Juli 2016.
Tidak hanya rumah Meliana, tapi tempat peribadatan vihara di kota Tanjungbalai pun dirusak dan dibakar massa yang terprovokasi.
Para pelaku pengrusakan rumah Meliana dan vihara lantas diciduk aparat keamanan. Terbakar situasi, warga pun akhirnya menuntut agar Meliana diadili.
Gayung bersambut, baik Meliana maupun pelaku pengrusakan harus berhadapan dengan hukum. Alhasil, pada 23 Januari 2017, Pengadilan Negeri (PN) Medan membui delapan pelaku pengrusakan dan pembakaran dengan hukuman penjara selama berkisar 1-2 bulan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tanjungbalai pada 19 Desember 2016 menghimbau kepolisian agar Meliana diproses hukum karena perkataan Meliana itu merupakan bentuk penistaan agama Islam.
Meliana pun akhirnya duduk di kursi pesakitan pada 30 Mei 2018. Meliana divonis bui 18 bulan penjara. Majelis hakim menilai vonis itu sudah memenuhi rasa keadilan Meliana dan warga.
Masyarakat lantas terhenyak, karena terdakwa mengajukan banding.
Putusan hakim yang membui terdakwa dengan 18 bulan penjara lantas menuai protes. Masyarakat geram dengan keputusan tersebut. Ribuan (lebih dari 220 ribu) orang di dunia maya menandantangani petisi agar Meliana dibebaskan. Demo di depan Gedung Mahkamah Agung pun digelar agar membebaskan Meliana.
Dari balik jeruji besi, Meliana memohon kepada Hakim Ketua MA agar melakukan putusan atas apa yang tak pernah dilakukannya.
Pada Agustus tahun lalu, Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin pernah ditanyai pendapatnya mengenai kasus Meliana. Lantas Menteri Agama menjawab dengan memegang acuan pada UU 1/PNPS/1965 mengenai Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Lukman Hakim pun menjelaskan UU tersebut.
Lain pendapat MUI, Agustus lalu, Ketua PBNU Bidang Hukum, HAM dan Perundang-undangan Robikin Emhas menyatakan perkataan Meliana agar mengecilkan suara azan dari mesjid bukanlah penistaan agama.
Apa hendak dikata, kasasi Meliana akhirnya ditolak Mahkamah Agung pada 27 Maret 2019.
MA tetap pada keputusannya, wanita separuh baya ini harus tetap harus mendekam di penjara selama 18 bulan.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) sangat menyayangkan sikap yang diambil Mahkamah Agung soal penolakan itu.
ICJR menilai Hakim Mahkamah Agung tidak melihat kesalahan keputusan yang diterapkan pengadilan negeri dan tingkat banding.
Penolakan kasasi sama saja dengan mengikat seorang untuk tidak dapat mengeluarkan hak kebebasan berbicara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H