Umumnya, para ibu mulai menghentikan pemberian ASI pada si kecil sejak anak menginjak 2 tahun. Bagaimana strategi penyapihan yang benar?
Ahsan, 23 bulan, sedang menjalani proses penyapihan.
Sepanjang hari, karena ia cukup aktif hingga lupa dengan kebiasaan menyusu, penyapihan berjalan lancar. Asupan makanan dan minumnya juga dapat tercukupi dengan baik.
Namun, drama terjadi saat malam tiba. Ahsan mulai rewel dan menangis, lantaran rutinitasnya menyusu sebagai pengantar tidur tiba-tiba menghilang.
Ini berlangsung selama tiga jam berturut-turut, hingga akhirnya sang ibu luluh, dan kembali menyusui Ahsan. Proses menyapih lagi-lagi harus ditunda sampai sang ibu merasa anaknya benar-benar siap.
Menyapih anak memang gampang-gampang sulit.
Dr. Wiyarni Pambudi, Sp.A, IBCLC, staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, menegaskan bahwa proses menyapih bisa saja terjadi alami.
"Saat ASI tidak lagi jadi sumber utama mendapatkan cairan, frekuensi anak menyusu pun semakin jarang. Maka penyapihan terjadi seiring kesiapan anak melepas kebiasaan menyusu," papar Dr. Wiyarni.
"Selain itu, menyapih bisa pula diprogram atas inisiatif orangtua. Cara ini umumnya lebih penuh drama dan membutuhkan kesabaran ekstra," jelas Ketua Umum Sentra Laktasi Indonesia (SELASI) ini.
Sementara itu, Dr. Asti Praborini Sp.A IBCLC, dari RSIA Kemang Medical Care, menjelaskan bahwa fase oral pada anak berlangsung sampai usia 2 tahun. Itu sebabnya, usia tersebut dianggap cocok untuk mulai menyapih si kecil.
"Saat itu, kualitas ASI memang masih baik, tetapi secara psikologis bila anak terus menyusu, dikhawatirkan anak menjadi kurang mandiri. Kelak, ia tidak dapat mengambil keputusan dengan cepat dan tepat," jelas Dr. Asti.