Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Gadai yang Kian Marak Jelang Lebaran

30 Mei 2018   05:59 Diperbarui: 30 Mei 2018   07:21 3761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
syariahmandiri.co.id

Maraknya gerai gadai menunjukkan tingginya minat di masyarakat untuk menggadaikan barang. Fenomena ini perlu dipahami secara bijak agar kita pun tak terjerat utang. Simak saran para pakar.

Umumnya, kesibukan di gerai-gerai gadai meningkat pada tiga momentum: jelang hari raya, kenaikan kelas, dan pergantian tahun.

Itulah kondisi di mana seseorang cenderung membutuhkan dana tunai dalam waktu cepat, dengan cara menggadaikan barang berharga miliknya. Fenomena yang kini lazim di masyarakat ini sudah ada sejak lama.

Hal tersebut diungkapkan oleh Rahma Mieta Mulia, CFP, Senior Financial Planner di OneShildt Financial Planning, yang memaparkan bagaimana praktik gadai sudah muncul sejak zaman penjajahan Belanda.

"Ketika seseorang ingin menggadaikan barang, dia cukup membawa kartu identitas dan barang yang akan digadaikan. Pihak pergadaian lantas akan menaksir nilai barang, dan nilai taksiran itulah yang menjadi dasar perhitungan jumlah maksimal dana yang dapat dipinjam," papar Rahma.

Biasanya, dana yang bisa dipinjam tidak mencapai 100 persen dari nilai taksiran. Jika tidak bisa melunasi, maka pilihannya adalah memperpanjang masa pinjaman, atau menjual barang gadai tersebut.

Gadai memang lebih mudah dibandingkan meminjam di bank. Syaratnya sederhana, hanya perlu membawa kartu identitas dan barang yang akan digadaikan, dan prosesnya pun cepat.

"Usaha gadai bertujuan memberikan kemudahan mendapat pinjaman, dan menurut saya, ini sah-sah saja. Bagi mereka yang membutuhkan dana cepat, keberadaan jasa gadai sangat membantu," papar Rahma.

Secara senada, Dian Faqihdien Suzabar, Kepala Bidang Gadai Bank Syariah Mandiri (BSM), menegaskan bahwa gadai sejatinya membantu perekonomian nasabah sesuai kebutuhannya, terutama dalam menunjang aktivitas bisnis.

"Tujuan dari gadai adalah dana tunai sementara, karena itu dibatasi dalam waktu empat bulan. Skema pembayaran saat ini banyak membantu pedagang kecil, seperti terjadi di gerai gadai emas BSM. Banyak pengusaha atau pebisnis yang jadi nasabah gadai," papar Dian.

Terkait maraknya gerai gadai, Rahma maupun Dian sepakat bahwa fenomena ini menunjukkan satu dari tiga hal, yakni minat masyarakat yang tinggi, pasar yang mengarahkan, atau budaya masyarakat yang konsumtif.

Bahkan, bisa pula ketiga faktor tersebut sekaligus. Minat masyarakat yang tinggi biasanya disebabkan oleh adanya kebutuhan dana segar yang cepat. Nah, tak bisa dipungkiri bahwa selain untuk usaha, dana tersebut juga digunakan untuk kebutuhan konsumtif, seperti membeli keperluan saat Lebaran.

"Di sisi lain, usaha gadai didorong untuk tumbuh. Salah satunya dengan mendorong usaha mikro, kecil, dan menengah dalam mendapat pendanaan sehingga secara tak langsung meningkatkan perekonomian Indonesia. Meski dalam praktiknya, tidak membatasi penggunaan dana untuk kebutuhan konsumtif," jelas Rahma.

Dia menimpali, "Tentu kalau dilihat dari sisi konsumtif, ada kaitannya. Kendati demikian, masyarakat saat ini punya edukasi yang baik untuk penggunaan uang. Misalnya, selain untuk kebutuhan yang mendesak, dana tersebut juga digunakan untuk investasi."

Menurut Dian, seiring berkembangnya perbankan syariah, banyak nasabah gadai yang memilih gerai gadai di BSM.

"Ini karena di bank syariah, ada akad yang mendasari bisnis gadai, yaitu ketika Nabi Muhammad pernah menggadaikan pakaian perangnya. Inilah yang dijadikan dasar bisnis gadai di bank syariah yang tidak ada di bank konvensional," jelasnya.

Melihat besarnya kebutuhan masyarakat di luar segmen nasabah pegadaian, maka bank syariah memutuskan untuk meluncurkan layanan gadai. Ini didorong oleh besarnya jumlah masyarakat yang membutuhkan layanan namun tak ingin ke Perum Pegadaian, melainkan ke bank. Hal ini tak lepas dari image gadai sendiri yang dirasa kurang nyaman.

Tentu, ada sejumlah hak dan kewajiban yang perlu dipahami. Setelah menerima hak utama berupa sejumlah uang dan juga hak barang yang digadaikannya dijaga, nasabah yang bergadai harus menebus kembali dan melunasi manfaat yang diterima.

"Jika gagal bayar saat jatuh tempo, maka nasabah sendiri yang menjual agunan tersebut, dan sebagian hasil jual dipakai untuk melunasi pembayaran. Atau, bisa pula memperpanjang masa gadai," tandas Dian.

Di luar manfaat gadai, tentu ada pula risiko yang perlu diwaspadai, seperti tidak bisa melunasi uang tebusan atau membayar cicilan per bulan.

"Karena itu, lakukanlah perencanaan yang matang sebelum memutuskan untuk menggadaikan, seperti mengecek besaran bunga yang dikenakan dan kemampuan membayar cicilan atau uang tebusan. Jumlahnya tidak lebih dari 35 persen pendapatan per bulan," tandas Rahma.

Selain itu, pertimbangkan alternatif lain yang lebih aman dari menggadaikan barang, yakni dengan meminjam pada keluarga atau kerabat dekat yang memiliki kelebihan materi. Tentu, Anda harus tetap memerhatikan etika dalam meminjam uang, yakni mengembalikan tepat waktu. Kalau perlu, buatlah surat perjanjian.

Rahma juga mengingatkan risiko keamanan barang tidak terjamin, terutama karena tidak diasuransikan oleh pihak penerima gadai. Karena itu, ia mengimbau agar memilih perusahaan gadai yang terpercaya, terdaftar, dan memiliki surat izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

"Waspada besaran bunga atau sewa menyewa modal yang dikenakan, serta legalitas usaha gadai yang akan berhubungan dengan keamanan barang gadai. Lihat pula bagaimana kemampuan usaha gadai tersebut dalam memberi taksiran barang jaminan," imbuh Rahma.

Yang tak kalah penting, sebelum akhirnya memutuskan untuk memanfaatkan jasa gadai, tanyalah diri sendiri: Apakah transaksi gadai yang hendak dilakukan benar-benar untuk memenuhi kebutuhan dasar, yakni kebutuhan yang penting dan mendesak?

Jangan sampai gadai dilakukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan tersier yang sesungguhnya dapat ditunda. Karena itu, Rahma menekankan pentingnya memiliki perencanaan keuangan yang baik, sehingga bisa membedakan antara kebutuhan dasar atau primer, sekunder, dan tersier.

"Kemampuan perencanaan keuangan yang baik akan membentuk kebiasaan baik pula, ketika berutang merupakan hal terakhir yang akan dilakukan," tegas Rahma.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun