Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aksi Menghakimi Layaknya Fenomena Gunung Es

14 April 2018   08:21 Diperbarui: 14 April 2018   08:43 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat kita mengacungkan jari ke orang lain, ada tiga jari yang menunjuk ke diri kita sendiri. Artinya? Ketimbang menghakimi, mari berefleksi dan cari solusi.

Kecenderungan masyarakat kita untuk saling menghakimi tampaknya masih tinggi. Dari melabeli orang dari penampilan luar semata, sampai perilaku menghukum orang lain tanpa bukti yang jelas, yang sering kali kita sebut dengan istilah "main hakim sendiri."

Mengapa kita suka menghakimi? Menurut Arief Wahyujatmiko, Psi., dari Biro Psikologi Persona Bandung, aksi menghakimi layaknya fenomena gunung es. Di balik perilaku tersebut, ada banyak faktor dan berbagai latar belakang yang membuatnya muncul.

"Sebagai pribadi, kita memiliki defence mechanism, mekanisme pertahanan diri untuk mempertahankan kondisi seimbang. Mekanisme ini bisa efektif, bisa juga tidak. Dalam kondisi tertekan, perilaku yang muncul dalam menghadapi tekanan tersebut bisa jadi menyalahkan orang lain," ujar Arief.

"Apa yang dipikirkan seseorang terhadap sesuatu yang mencurigakan membuatnya mudah menyalahkan orang lain tanpa dikontrol. Bicara atas nama kebenaran, tapi kurang pengendalian diri, akhirnya yang ditunjukkan hanya dorongan emosi agresi," tandas Arief.

Lebih jauh Arief menjelaskan, berkaitan dengan massa, kerumunan akan selalu menjadi situasi yang mendukung tersulutnya pribadi yang kurang matang secara emosional tadi.

"Individu seperti ini akan mudah dipengaruhi atau diprovokasi untuk hal yang kadang sepele. Terlebih untuk tuduhan terkait hal yang bersifat sensitif dan menyangkut hak yang terabaikan, orang akan mudah beringas dan tidak mampu mengontrol diri," tandas Arief.

"Tidak heran jika bagi sebagian orang, ekspresi emosi ini kadang membuatnya puas dan merasa menjadi pahlawan. Intinya, kecerdasan emosi dan sosial yang rendah membuat orang mudah tersulut," tukas Arief kemudian.

Menurut Arief, di sini ada peran dari kegagalan pendidikan yang lebih fokus pada kemampuan intelektual semata. Ini masih ditambah gempuran media yang sarat agresi dan pornoaksi, yang lebih menstimulasi otak primitif individu.

Karena itu, Arief mengingatkan, ini menjadi pekerjaan penting bagi institusi keluarga dalam mengondisikan pengaruh media secara maksimal. Ke depannya, kita harus mampu menciptakan lingkungan yang mampu mengontrol diri dan selalu melakukan klarifikasi agar lebih optimal dalam merespons situasi.

Dalam perspektif yang berbeda, Aninditya H. Andaninggar, M.Psi., Psi., dari Personal Consulting, menilai bahwa perilaku menghakimi adalah kecenderungan seseorang untuk menilai rendah orang lain dalam berbagai hal, mulai dari perkataan, tingkah laku, sudut pandang, hingga pilihan hidup.

"Individu dengan kecenderungan menghakimi selalu melihat keburukan objek atau individu lain, sering kali diikuti dengan komentar buruk - istilah sekarangnya 'nyinyir' - atau bahkan perilaku yang tidak pantas," papar psikolog yang akrab disapa Ninggar ini.

Hal ini, tandas Ninggar, bisa terjadi karena ketidaksesuaian antara apa yang diharapkan atau nilai yang dianut dengan kenyataan. Kecenderungan menghakimi juga muncul saat kita merasa tidak nyaman dengan lingkungan. Ini sering muncul di media sosial dalam bentuk status atau komentar, serta obrolan gosip mengenai orang atau pihak tertentu.

"Ketika individu tidak bisa mengendalikan kecenderungan menghakimi, serta mengeluarkannya dalam bentuk lisan maupun tertulis, tentu pihak yang merasa dihakimi akan merasa tersinggung. Dari sinilah konflik timbul," ungkap Ninggar.

Dampak buruk perilaku menghakimi tak hanya dialami korban, tapi juga bagi pelaku.

Ninggar menyebutkan, pelaku aksi menghakimi memiliki risiko kurang disenangi dan sulit membentuk jaringan sosial atau networking. Sementara itu, korban yang sering dihakimi berisiko kehilangan rasa percaya diri dan menjadi pribadi yang cenderung pesimis. Baik pelaku maupun korban, hidup mereka sering kali menjadi tidak tenang.

Untuk mencegahnya, Ninggar menyarankan sejumlah langkah yang bisa dilakukan. Pertama dan terpenting, mulailah dari diri sendiri dahulu. Semua orang punya kecenderungan menghakimi, meskipun pada taraf yang berbeda-beda.

Kedua, karena perilaku menghakimi bisa menjadi bumerang bagi pelaku, maka pencegahannya adalah dengan melakukan introspeksi diri. Cobalah pahami pihak yang kita nilai, dan belajarlah menerima keadaan.

Setelah berhasil mengendalikan perilaku menghakimi yang ada dalam diri kita sendiri, kita bisa membantu orang lain dengan mengingatkan mereka akan langkah-langkah tersebut untuk mengikis maraknya aksi menghakimi.

"Andai semua orang bisa melakukan refleksi dan berhenti menghakimi orang lain, apalagi sampai bisa mencegah timbulnya konflik, tentu hidup akan lebih damai, bukan?" pungkas Ninggar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun