Si kecil ingin ikut ekstrakurikuler karate, wing chun, atau pencak silat? Latihan bela diri tak hanya baik bagi fisik si kecil, tapi juga memiliki filosofi yang dapat membentuk karakter anak.
Ban merah melingkar di pinggang Santi, siswi kelas IV yang sudah aktif mengikuti latihan taekwondo sejak masuk SD.
Ia tertarik pada seni bela diri tersebut setelah menonton YouTube tentang anak-anak yang mengikuti kejuaraan taekwondo. Anak tunggal ini pun memohon pada orangtuanya agar boleh mengambil ekstrakurikuler bela diri. Sejak itu, gadis cilik ini rajin mengikuti latihan tiap Jum'at sore di lapangan sekolah.
Ada beragam alasan seseorang memilih seni bela diri sebagai salah satu keterampilan yang dimiliki dalam hidupnya. Salah satunya, ungkap Muhammad Valentino Yanes Aldenhoven, Ketua Taekwondo Jakarta Timur, tak lepas dari pengaruh kondisi sosial saat ini.
"Tampaknya, seni bela diri saat ini menjadi favorit karena adanya pengaruh situasi sosial. Orangtua menilai, lingkungan dirasa semakin tidak aman. Hal ini membuat orangtua ingin membekali anak-anaknya dengan suatu keterampilan atau skill untuk dapat membela diri," ujar Valentino.
Pada dasarnya, seni bela diri adalah suatu kebutuhan bagi kita semua. Bela diri dapat membentuk fisik dan menguatkan kepribadian anak, apalagi di zaman yang keras dengan godaan pergaulan bebas, narkoba, dan lain-lain. Valentino menilai, bela diri mutlak adanya dibutuhkan sebagai bekal hidup seseorang.
Seiring perjalanan waktu, jenis bela diri pun berkembang pesat.
Jika dulu kita hanya mengenal karate, taekwondo, dan pencak silat, kini ada beragam jenis bela diri yang menjadi alternatif pilihan, seperti wushu dan wing chun.
Menurut Abraham Nugroho, Wakil Ketua II Tradisional IP Man Wing Chun, salah satu alasan penting seseorang memilih latihan seni bela diri adalah bentuk manfaat dari latihan itu. Pada seni bela diri wing chun, banyak orang memilihnya karena mereka dapat belajar mengasah fokus dan mental.
"Latihan seperti ini sangat penting untuk perkembangan anak-anak. Selain itu, sensor motorik mereka juga ikut dilatih, sehingga tulang dan otot berkembang dengan baik," tutur Abraham.
Abraham menilai, pilihan anak tak lepas dari peran orangtua. "Biasanya, ada faktor seperti orangtua memiliki hobi yang sama waktu mereka masih muda. Selain itu, media seperti film juga menjadi salah satu faktor yang mempopulerkan sebuah seni bela diri," paparnya.
Kedua pelatih ini menegaskan bahwa apa pun jenisnya, setiap seni bela diri memiliki kelebihan dan ciri khas tersendiri yang menjadi daya tarik, serta titik penting pada penekanan keterampilan yang diajarkan.
"Dalam taekwondo, ciri tersebut adalah bahwa seseorang yang mengikuti latihan akan timbul rasa percaya diri yang tinggi. Selain itu, peserta didik diajarkan untuk selalu rendah hati dan menyebarkan kebaikan," kata Valentino.
"Sebab, ini adalah seni bela diri, bukan menyerang. Arahan-arahan yang positif seperti ini wajib selalu diingatkan setiap latihan kepada anak didik," lanjutnya.
Menurut Valentino, sesi latihan taekwondo umumnya terdiri dari senam, fisik, teknik, dan yang terpenting adalah pemahaman terhadap tujuan dari bela diri itu sendiri. Sebelum praktik, ajak anak melihat langsung agar timbul keinginan meniru. Satu kali contoh jauh lebih baik daripada nasihat.
Ia menegaskan agar sebaiknya anak-anak sedini mungkin dikenalkan pada latihan taekwondo atau seni bela diri lain. Khusus taekwondo, umumnya dari tingkat dasar sampai mahir bisa dilakukan selama empat tahun.
Sementara itu, Abraham menekankan bahwa dalam wing chun, tujuannya adalah gerakan alami yang tak memaksakan diri.
Bicara filosofi, wing chun melatih postur badan yang semestinya. Otomatis, postur dan napas yang teratur akan memengaruhi karakter seseorang. Di samping itu, ada penekanan pada latihan fokus, fungsional gerak badan, refleks, kesadaran akan gerakannya sendiri, serta kecepatan dan kekuatan.
"Karena gerakannya yang alami, sebetulnya perempuan justru lebih mudah mempelajari bela diri ini daripada laki-laki yang cenderung memaksakan diri," kata Abraham. "Di luar Jakarta justru cukup banyak murid perempuan yang ikut wing chun."
Saat ini, bela diri asal Tiongkok tersebut memang masih didominasi pria, tapi Abraham melihat justru perlu digaungkan bahwa perempuan lebih penting untuk kuasai bela diri.
Mengenai manfaat, Abraham mengungkap, "Jelas bahwa anak yang menguasai seni bela diri dengan benar pasti memiliki kelebihan bila dibandingkan anak yang tidak melakukan latihan bela diri, seperti memiliki sikap disiplin, sigap, dan sportif."
Apa pendapat psikolog?
Anita Chandra, M.Psi., Psikolog, dari RS Columbia-Asia Pulomas, menilai bahwa seni bela diri menjadi pilihan orangtua untuk aktivitas buah hati mereka karena tiga manfaat sekaligus, yaitu fisik, skills, dan psiko-sosial.
"Bela diri merupakan sarana olahraga yang tak hanya mengajarkan keterampilan untuk membela diri saat situasi darurat, tapi juga aspek psiko-sosial yang mengajarkan anak tentang regulasi emosi dan nilai-nilai positif," papar Anita.
Psikolog anak yang juga berpraktik di Klinik Anakku Kelapa Gading ini mengatakan bahwa secara umum semua seni bela diri mengajarkan tentang percaya diri, percaya pada kemampuan diri sendiri, membela kebenaran, menghargai orang lain (misal menghormati seniornya), dan menjaga perdamaian.
Lebih rinci, Anita menjelaskan bahwa banyak aspek yang bisa dipelajari dari anak yang sungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu bela diri, seperti terlatih melakukan koordinasi gerak (atas-bawah dan kanan-kiri), di mana hal ini juga mengembangkan kemampuan kerja otak kanan-kiri mereka, membangun ketahanan fisik, kekuatan otot, dan kelenturan.
Di saat yang sama, anak melatih ketekunan saat belajar bahwa setiap gerak memiliki tahapan tersendiri. Anak juga berlatih sabar, tidak tergesa-gesa dalam menilai situasi (seperti saat tanding), percaya diri, dan meregulasi emosi saat ia bekerja sama dengan rekan satu tim.
Tak lupa Anita menegaskan bahwa seni bela diri seharusnya tidak terkait dengan gender. Anak perempuan bisa melakukannya jika ia tertarik.
Namun demikian, memang pada kenyataannya masih ada persepsi bahwa anak-anak perempuan lebih baik mengikuti seni bela diri yang "halus", seperti kungfu atau aikido, ketimbang seni bela diri yang "kasar" seperti taekwondo atau judo.
"Mungkin, yang perlu diperhatikan adalah pengaruh terhadap postur atau pembentukkan tulang anak yang harus ditanyakan pada ahlinya, karena pada beberapa seni bela diri, ada yang memiliki batas usia minimum," Anita mengingatkan.
Psikolog ini menegaskan bahwa anak mulai dapat diperkenalkan bela diri yang sungguh-sungguh sejak usia di atas 5 tahun, karena pada usia tersebut seorang anak dapat lebih mengontrol dirinya.
Tentu, butuh peran orangtua dalam pemantauan anak yang belajar seni bela diri, seperti untuk senantiasa menanamkan nilai positif aktivitas tersebut, memberi batasan jelas, dan memotivasi anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H