Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merespons Amarah Secara Konstruktif

11 April 2018   13:47 Diperbarui: 11 April 2018   17:19 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Amarah memiliki banyak dampak negatif bagi kesehatan, baik fisik maupun psikologis, terutama saat reaksi kita tidak sehat. Sebuah penelitian yang dimuat di The European Heart Journal Acute Cardiovascular Care menjabarkan hasil penelitian terhadap 313 pasien yang terkena serangan jantung.

Mereka diminta mengisi kuesioner tentang tingkat kemarahan yang dialami dalam waktu 48 jam sebelumnya. Hasil dari analisis kuesioner tersebut, sering marah-marah akan meningkatkan risiko terkena serangan jantung 8,5 kali lebih tinggi setelah 2 jam mereka marah-marah.

Jadi, seorang pemarah lebih rentan terkena serangan jantung karena ketidakstabilan emosi. Selain itu, mereka yang memiliki kecemasan tinggi juga berisiko terkena serangan jantung.

Belum diketahui secara persis bagaimana amarah bisa memicu serangan jantung. Tetapi yang pasti, dugaannya, stres dapat meningkatkan detak jantung dan tekanan darah, penyempitan pembuluh darah, pemecahan plak, dan pembekuan yang akhirnya terjadi serangan jantung.

Apa tanda-tanda kita tidak bisa mengendalikan amarah dengan baik? Jika marah Anda meningkat cepat, dari 0-60 dalam waktu beberapa detik saja. Atau, jika Anda kesulitan untuk meredakan amarah, dan sering merasa marah dalam hubungan pribadi Anda, di pekerjaan, maupun keseharian.

Kabar baiknya, Anda bisa melatih otak Anda untuk merespon amarah secara konstruktif. Itulah yang ditegaskan Bernard Golden, PhD, psikolog dan penulis Overcoming Destructive Anger: Strategies That Work

"Semua kebiasaan kita direfleksikan dalam koneksi saraf di otak kita. Jika kita mengembangkan kebiasaan baru, kita membuat koneksi otak kita bagi kebiasaan itu lebih kuat, menjadikannya respon yang lebih otomatis," ujar Bernard.

Hal pertama yang harus diingat adalah untuk membiasakan diri melibatkan otak rasional. Golden menyarankan empat langkah yang bisa dicoba. Pertama, saat amarah datang, tarik napas dalam-dalam. Ini membuat Anda fokus pada diri Anda, ketimbang objek amarah.

Lalu, periksa diri Anda, mana bagian-bagian yang menegang. Kendurkan rahang Anda, juga kepalan tangan Anda. Agar bisa melakukan ini saat amarah datang membuncah, praktikkan saat Anda sedang tidak marah.

Selanjutnya, kenali apa yang menjadi pemicu emosi tersebut. Apakah kecemasan karena uang? Jika pemicunya adalah orang lain, cobalah bersimpati padanya. Misalnya, Anda jengkel saat tahu pasangan Anda membeli TV baru. Coba tanyakan dulu alasannya sebelum menyimpulkan sendiri.

Terakhir, lakukan refleksi. Apakah harapan Anda realistis? Apakah Anda terlalu cepat menghakimi orang lain? Kita sering kali menganggap kita tahu apa maksud orang lain, padahal belum tentu itu benar.

Intinya, mengatasi amarah bukan menghindarinya. Sebaliknya, ingatlah bahwa rasa marah adalah sinyal untuk memeriksa diri sendiri, apa yang perlu dibenahi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun