Aku memanggil Wenny, karyawan Ayah, untuk menggantikanku jaga. Aku bergegas masuk untuk mencari es batu. Aku memeriksa di kotak obat untuk mencari obat penghilang nyeri yang masih tersisa. Selang beberapa menit, semua yang kubutuhkan sudah kudapatÂ
"Nama lo siapa? Gue Suciwati Lestari. Lo boleh panggil gue Suci."
"Gue Boy. Boy Prayogo."
Kami berjabat tangan, lalu aku memberinya es batu.
"Minum obat penghilang nyeri ini. Tadi kebetulan di kotak obat masih ada." Aku mengarahkannya pada obat yang ada di tanganku dan air mineral yang ada di dekat meja resepsionis.
Ingatanku melayang ke beberapa hari yang lalu.
Ketika itu, Ayah memintaku membantunya di toko. Aku melihat tubuh itu terbaring lemah dengan muka penuh lebam di depan toko Ayah. Dia berusaha berdiri sambil memegangi luka yang sepertinya mulai bengkak.
Tanpa sengaja tatapannya bertemu dengan mataku yang memang sedang menatapnya. Dia tersenyum memamerkan gigi putihnya yang rapi. Aku terpana. Tanpa sadar, aku membalas senyumnya.
Dan sekarang, dia ada di sini. Berbicara denganku. Entah apa yang ada di pikirannya. Aku mengamati lelaki itu yang sedang mengobati lukanya.
"Makasih ya, Ci. Ini kantong es dan obatnya. Gue kira lo bakalan ngusir gue. Terus terang tadi gue agak takut juga pas mau masuk kemari."
"Selama lo bersikap baik dan nggak ngacak-ngacak toko ini, gue masih bisa sopan." Aku menatapnya sambil mengedipkan sebelah mataku, menandakan bahwa aku bercanda.