Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membesarkan Anak yang Berbeda Gender Punya Tantangan Tersendiri

23 Desember 2017   09:55 Diperbarui: 23 Desember 2017   16:04 1605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memiliki sepasang anak dengan gender berbeda masih menjadi impian orangtua. Tentu, membesarkan anak yang berbeda gender punya tantangan tersendiri.

Kakak beradik yang terpaut usia tiga tahun itu terbilang kompak.

Mereka bersekolah di tempat yang sama, dan punya hobi yang sama. Meski sang kakak bergender perempuan dan sang adik laki-laki, mereka jarang berkelahi. Orang-orang pun mengagumi keakuran mereka, dan memuji keberhasilan sang orangtua dalam mendidik anak-anak tersebut.

Memiliki anak dengan gender berbeda masih dipandang ideal. Namun, tak banyak yang paham bahwa jenis kelamin dan gender itu berbeda. Jenis kelamin melekat secara fisik pada setiap manusia, yakni laki-laki dan perempuan, sedangkan gender mengacu pada perbedaan peran dalam tatanan budaya, yaitu maskulin dan feminin.

"Orangtua hanya perlu mengenalkan konsep maskulin dan feminin. Kita tidak lagi mengenal pekerjaan tertentu hanya untuk gender tertentu. Karena itu, penerapan pola asuh yang berbeda sebenarnya adalah bentuk diskriminasi terhadap tumbuh kembang anak," tandas Herlina Lesmana, M.Psi., Psikolog, dari Brainspotting.id.

Menurut Herlina, peran maskulin umumnya diterapkan kepada anak yang berjenis kelamin laki-laki.

Misalnya, anak laki-laki tidak boleh menangis ketika jatuh. Ini membuat anak laki-laki tumbuh dengan menahan air mata ketika sedih karena takut dianggap "tidak jantan". Padahal, menangis adalah salah satu bentuk ekspresi wajar dari meluapkan kesedihan.

Di lain sisi, peran feminin diterapkan kepada anak perempuan. Misalnya, anak perempuan tidak boleh berbicara to the point ketika tidak menyukai suatu hal. Ini membuat anak perempuan sering menahan ketidaksukaan dan memendam suatu masalah, atau berbicara di belakang (menjadi gosip).

"Hanya dengan pengenalan dan pemahaman bahwa ada perbedaan antara peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat di budaya tertentu sehingga memudahkan interaksi dan saling melengkapi," tegas Herlina.

Menanggapi persoalan ini, DR. Aski Mariska, Psikolog, staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma, menyoroti bahwa saat ini semakin banyak orangtua yang mulai menyadari perlunya pola asuh yang berwawasan gender.

Di antaranya adalah dengan lebih memberikan peluang terhadap akses, partisipasi, dan penguasaan kepada laki-laki maupun perempuan terhadap berbagai hal dengan adil dan proporsional. Bahkan, pola asuh berwawasan gender kini menjadi solusi dalam menyikapi diskriminasi gender.

"Pola asuh berwawasan gender adalah pola asuh yang didasarkan pada nilai-nilai gender yang lebih memberikan peluang terhadap akses, partisipasi dan penguasaan kepada laki-laki dan perempuan (baik orangtua maupun anak) terhadap berbagai hal yang lebih adil dan proporsional," ujar Aski.

Menurutnya, penerapan pola asuh berwawasan gender sangat mengedepankan kesetaraan dan keadilan. "Dengan adanya peran jenis yang sederajat ini maka masing-masing individu dapat mengembangkan minat dan kemampuannya tanpa membedakan jenis kelamin," tukas Aski.

"Di Indonesia, yang memiliki budaya patriarki di mana laki-laki lebih dominasi, banyak perempuan didoktrin untuk mengalah dan tunduk terhadap laki-laki," tandas Herlina.

Masalahnya, pandangan seperti inilah yang sering kali menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, baik fisik, emosional, seksual, dan materi. Perempuan dianggap memiliki kelas dibawah laki-laki dan tidak boleh memberikan suara.

Atas dasar persepsi ini pula, anak laki-laki dianggap lebih istimewa daripada anak perempuan, sehingga kebutuhan pendidikan dan kesehatan lebih diutamakan untuk anak laki-laki. Anak perempuan dianggap tidak memerlukan pendidikan tinggi karena pada akhirnya ia akan "di dapur saja".

"Padahal, potensi masing-masing gender adalah sama. Perbedaan lebih berdasarkan individu per individu, bukan karena gender," tukas Herlina.

Oleh karena itu, pola asuh yang terbaik adalah yang menitikberatkan bahwa setiap anak adalah unik.

Pola asuh ini tidak berfokus pada anak atas dasar gender, melainkan karena karakteristik mereka yang berbeda. Setiap anak memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, dengan latar belakang dari pengalaman hidup yang mereka alami sejak di kandungan.

"Memang tidak mudah menerapkan pola asuh semacam ini, tetapi bukankah kebahagiaan anak dalam meraih cita-cita adalah kepuasan tertinggi orangtua?" tandas Herlina.

Menurutnya, sering kali orangtua terpengaruh stigma masyarakat dimana salah satunya adalah gender, dan membuat anak tidak percaya diri sehingga tidak mampu melakukan apa yang menjadi potensinya. Pada akhirnya, ia merasa sebagai orang yang gagal.

Sementara itu, Aski menekankan bahwa orangtua perlu menunjukkan bahwa ayah dan ibu punya tanggung jawab pengasuhan dan wewenang yang sama dalam proses pengambilan keputusan. Mereka punya porsi yang seimbang dan demokratis. Ini membuat anak memahami hubungan relasi yang sejajar antara laki-laki dan perempuan.

Selain itu, pahami posisi nilai anak. Hal ini berkaitan dengan cara orangtua memperlakukan anak-anaknya. Perbedaan berdasarkan jenis kelamin akan memengaruhi cara pandang anak tentang dirinya sendiri di hadapan lawan jenisnya. Karakter keluarga, baik sikap ayah atau ibu tentang peran seks akan berpengaruh terhadap gender identity anak.

Yang tak kalah penting adalah harapan tentang masa depan; bagaimana orangtua memberikan kesempatan dan dukungan yang sama bagi perkembangan potensi anak-anaknya, laki-laki maupun perempuan.

Intinya, pola asuh orangtua akan tumbuh dan berkembang secara psikologis pada pribadi anak.

"Jika dalam tahapan belajar anak, orangtua menekankan pola asuh berwawasan gender, dimana anak laki-laki dan perempuan diberikan peluang terhadap akses, partisipasi dan penguasaan dengan adil, maka mereka akan membentuk individu yang mampu mengembangkan minat dan kemampuan tanpa terbelenggu jenis kelaminnya," tandas Aski.

Orangtua yang mampu menunjukkan sikap dan perilaku pada anak akan bentuk kesetaraan, keadilan dan tanggung jawab yang berwawasan gender antara ayah, ibu dan anak dalam proses pengambilan keputusan, pembagian tugas pengasuhan, perlakuan teknis pengasuhan, nilai terhadap anak dan harapan orangtua tentang masa depan anak.

Ini akan membentuk proses generalisasi anak mengenai peran seks dan relasi antara laki-laki dan perempuan yang benar. Hal tersebut merupakan modal dasar dalam membentuk kemandirian dan orientasi masa depan anak.

"Pada intinya, setiap anak adalah unik. Jadilah orangtua yang mengenali potensi atau bakat anak. Masa depan anak-anak dimulai dari pola asuh orangtua," pungkas Herlina.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun