"Pola asuh berwawasan gender adalah pola asuh yang didasarkan pada nilai-nilai gender yang lebih memberikan peluang terhadap akses, partisipasi dan penguasaan kepada laki-laki dan perempuan (baik orangtua maupun anak) terhadap berbagai hal yang lebih adil dan proporsional," ujar Aski.
Menurutnya, penerapan pola asuh berwawasan gender sangat mengedepankan kesetaraan dan keadilan. "Dengan adanya peran jenis yang sederajat ini maka masing-masing individu dapat mengembangkan minat dan kemampuannya tanpa membedakan jenis kelamin," tukas Aski.
"Di Indonesia, yang memiliki budaya patriarki di mana laki-laki lebih dominasi, banyak perempuan didoktrin untuk mengalah dan tunduk terhadap laki-laki," tandas Herlina.
Masalahnya, pandangan seperti inilah yang sering kali menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, baik fisik, emosional, seksual, dan materi. Perempuan dianggap memiliki kelas dibawah laki-laki dan tidak boleh memberikan suara.
Atas dasar persepsi ini pula, anak laki-laki dianggap lebih istimewa daripada anak perempuan, sehingga kebutuhan pendidikan dan kesehatan lebih diutamakan untuk anak laki-laki. Anak perempuan dianggap tidak memerlukan pendidikan tinggi karena pada akhirnya ia akan "di dapur saja".
"Padahal, potensi masing-masing gender adalah sama. Perbedaan lebih berdasarkan individu per individu, bukan karena gender," tukas Herlina.
Oleh karena itu, pola asuh yang terbaik adalah yang menitikberatkan bahwa setiap anak adalah unik.
Pola asuh ini tidak berfokus pada anak atas dasar gender, melainkan karena karakteristik mereka yang berbeda. Setiap anak memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, dengan latar belakang dari pengalaman hidup yang mereka alami sejak di kandungan.
"Memang tidak mudah menerapkan pola asuh semacam ini, tetapi bukankah kebahagiaan anak dalam meraih cita-cita adalah kepuasan tertinggi orangtua?" tandas Herlina.
Menurutnya, sering kali orangtua terpengaruh stigma masyarakat dimana salah satunya adalah gender, dan membuat anak tidak percaya diri sehingga tidak mampu melakukan apa yang menjadi potensinya. Pada akhirnya, ia merasa sebagai orang yang gagal.
Sementara itu, Aski menekankan bahwa orangtua perlu menunjukkan bahwa ayah dan ibu punya tanggung jawab pengasuhan dan wewenang yang sama dalam proses pengambilan keputusan. Mereka punya porsi yang seimbang dan demokratis. Ini membuat anak memahami hubungan relasi yang sejajar antara laki-laki dan perempuan.