Tak dapat dipungkiri, Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang memiliki keragaman spektrum dan keunikan tersendiri membuat kita bertanya: bagaimanakah cara berinteraksi yang tepat dengan mereka? Simak saran para pakar.
Sudah tepatkah cara Anda berkomunikasi dengan ABK?
Pertanyaan tersebut perlu diajukan, mengingat masih banyak dari kita yang belum paham bagaimana bijak bersikap dan berinteraksi secara wajar saat menghadapi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus.
Down syndrome, autisme, dan ADHD adalah tiga dari sekian banyak jenis kebutuhan khusus pada anak yang cukup akrab di masyarakat. Pada ABK dengan kondisi sedang apalagi berat, biasanya kondisi tersebut terlihat jelas. Lain halnya dengan ABK dengan tingkatan ringan, dimana umumnya masyarakat awam tidak mudah mengenali.
Sesuatu yang berbeda memang akan mengundang perhatian orang. Dalam hal ini, jika kondisi ABK terlihat secara jelas, seperti anggota tubuh yang tak lengkap atau perilaku unik tertentu. Atau, ABK dengan cerebral palsy, ketika fisik anak sudah cukup besar tapi lunglai dan masih harus digendong.
Reaksi yang umum ditunjukkan orang saat berjumpa ABK di ruang publik antara lain berupaya berempati, berusaha tidak terlalu memperhatikan, ada pula yang tampak cuek, dan ada yang memilih untuk bertanya pada orangtua atau pengasuh ABK, apa yang membuat kondisi anak seperti itu.
Menurut Ine Indriani, M.Psi., Psikolog, dari Psycoach Human Integra, hal yang penting bagi orangtua ABK adalah untuk menerima terlebih dahulu kondisi anaknya, sehingga mereka siap menerima apapun respons orang lain, baik itu positif maupun negatif.
"Berpikirlah positif, mungkin orang lain tidak tahu atau wawasannya kurang dalam memahami kondisi ABK. Berusahalah menerima dan tetap tegar, apapun reaksi lingkungan terhadap buah hatinya," ujar Ine.
Sebaliknya, kata psikolog yang juga berpraktik di RS Pantai Indah Kapukini, orangtua akan sulit menerima respons lingkungan bila dirinya sendiri belum dapat menerima sepenuhnya kondisi anaknya yang berbeda dari anak lain.
Pesan yang sama disampaikan Diah Fatmawati, M.Psi., Psikolog, dari Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta. "Memang tidak menyenangkan bila kita diperlakukan seenaknya oleh orang lain. Namun, orangtua ABK perlu bersikap bijak dan tetap memiliki pemikiran positif," ujar Diah.
"Bisa jadi, orang lain berperilaku seperti itu karena didasari kurangnya pengetahuan atau pemahaman mereka terkait ABK, sehingga mereka mungkin merasa takut. Padahal, ABK bukanlah sesuatu yang perlu ditakutkan," tegas Diah.
Diah tak memungkiri, terkadang orangtua sulit menerima dan bersikap terbuka tentang kondisi anak, karena mereka sendiri belum bisa berdamai dengan tantangan yang diamanahkan Tuhan pada keluarga mereka. Hal inilah yang membuat merekasulit untuk membuka diri kepada orang lain.
Selain itu, orangtua yang secara pribadi juga memiliki masalah psikologis, misalnya mudah stres dan cemas, tentu juga akan semakin mempersulit dalam proses mengasuh ABK. Ada pula pasangan suami isteri yang saling menyalahkan atas kondisi anak, bukannya saling mendukung.
"Dalam kondisi demikian, perlu ada support groupdari orangtua lain yang juga memiliki ABK," Diah mengingatkan. "Orangtua juga perlu menginformasikan keluarga inti, seperti pasangan, kakak, dan adik, serta keluarga besar, guru, dan tetangga. Dengan informasi tersebut, tentu dapat mengurangi stigma yang muncul karena ketidaktahuan atau minimnya informasi tentang ABK."
Apalagi, orangtua mungkin tak selalu ada di sisi anak, entah karena sakit atau hal lain. Apabila pihak keluarga lain sudah tahu mengenai kondisi ABK, ini akan memudahkan mereka untuk ikut terlibat dalam proses pengasuhan. Setidaknya, mereka sudah tahu bagaimana harus bersikap dan bisa tetap melanjutkan aturan yang selama ini sudah diterapkan oleh orangtua.
"Minimal, dengan memberi tahu orang lain tentang kondisi anak, diharapkan dapat mengurangi stigma dan memberikan pemahaman kepada mereka, karena memiliki anak dengan kebutuhan khusus bisa terjadi pada siapa saja," papar Diah.
Kedua psikolog ini mengingatkan dampak buruk dari reaksi negatif masyarakat terhadap ABK, seperti rasa tidak percaya diri, stres karena tidak dihargai, motivasi belajar yang menurun, dan enggan bersosialisasi.
Diah menilai, sama seperti anak yang lain, jika lingkungan bereaksi negatif terhadapnya, ABK tentu akan merasa sedih, tidak nyaman, tidak percaya diri. Mereka juga bisa merasakan kesedihan yang ditunjukkan oleh orangtua atau keluarganya.
"Perasaan tidak nyaman ataupun sedih itu kemudian dapat memunculkan perilaku marah atau emosional, karena umumnya mereka kurang memahami apa yang sebenarnya terjadi, atau tidak mengetahui bagaimana cara menyalurkan emosi negatif yang dirasakan," kata Diah.
Kadang, hal seperti ini tidak bisa dihindari, terutama bagi ABK yang mulai bersekolah atau beranjak remaja dan mulai bersosialisasi. Apalagi, secara umum ABK memiliki keterbatasan dalam bersosialisasi, baik karena ada hambatan dalam hal berkomunikasi, daya tangkap, atau masalah di bagian saraf otak yang membuat mereka tidak mampu menyerap informasi yang disampaikan oleh lingkungan secara tepat.
Dengan kondisi demikian, mereka pun tidak memahami apa yang harus dilakukan dalam berinteraksi. Karena itu, tidak heran jika ada ABK yang bergaul dengan anak-anak yang jauh lebih muda usianya (karena merasa setara) atau kebalikannya, yaitu dengan yang lebih tua (karena merasa diayomi/dimaklumi).
Untuk mengatasi ini, kedua psikolog ini mengingatkan bahwa kuncinya terletak pada bagaimana orangtua dapat menyiapkan sang ABK untuk menjadi individu yang resilien, tidak mudah terpancing emosi, atau menjadi down. Pendampingan dan penerimaan orangtua dalam membekali si anak dengan motivasi internal sangatlah penting.
"Orangtua harus dapat memberi ruang yang nyaman sehingga ABK tumbuh menjadi anak yang percaya diri walau kondisinya berbeda. Orangtua perlu memberikan support penuh, senantiasa mengapresiasi anak, mengenali minat dan bakat anak, serta mengajarkan anak cara bersosialisasi dengan benar," saran Ine.
Tentu, peran sekolah dan lingkungan sekitar tak kalah penting dalam menerapkan inklusivitas dan memahami kondisi ABK, ramah dengan ABK, dan mengajarkan siswanya untuk mendukung kondisi ABK tersebut.
"Penting sekali bagi masyarakat untuk belajar berempati, bahwa setiap orang itu berbeda," tegas Ine. "Ada orang yang normal, ada yang berkebutuhan khusus, sehingga masyarakat tahu bahwa walaupun berbeda, ABK tetap dapat perlakuan sama. Jangan sampai ada bullying."
Hal ini bisa terjadi di sekolah yang inklusif, dimana ABK dan anak normal berinteraksi bersama sehingga anak belajar berempati, menghargai perbedaan, dan memiliki respek terhadap ABK sehingga mereka tidak akan melakukan bullying.
Diah juga menyarankan, saat kita bertemu atau tak sengaja berpapasan dengan keluarga yang memiliki ABK, kita bisa tersenyum dan menyapa ramah. Boleh juga bertanya tentang usia anak ataupun hobinya, seperti kita bertanya tentang anak-anak pada umumnya.
Selain itu, kita juga bisa bertanya pada orangtua dari ABK tersebut tentang apa yang dapat kita lakukan untuk membantu sang ABK merasa nyaman, seperti menanyakan apa kesukaan si anak atau aktivitas yang digemarinya, atau apa yang boleh dan tidak boleh ia makan, sehingga kita dapat menawari minuman atau makanan favoritnya.
"Menurut saya, 'perlakukanlah orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan'dapat menjadi awal bagaimana kita berinteraksi dengan ABK dan keluarganya. Tunjukkan saja sikap sewajarnya, dengan tetap menjaga sopan santun dan tata krama dalam bergaul," pesan Diah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H