"Orangtua harus dapat memberi ruang yang nyaman sehingga ABK tumbuh menjadi anak yang percaya diri walau kondisinya berbeda. Orangtua perlu memberikan support penuh, senantiasa mengapresiasi anak, mengenali minat dan bakat anak, serta mengajarkan anak cara bersosialisasi dengan benar," saran Ine.
Tentu, peran sekolah dan lingkungan sekitar tak kalah penting dalam menerapkan inklusivitas dan memahami kondisi ABK, ramah dengan ABK, dan mengajarkan siswanya untuk mendukung kondisi ABK tersebut.
"Penting sekali bagi masyarakat untuk belajar berempati, bahwa setiap orang itu berbeda," tegas Ine. "Ada orang yang normal, ada yang berkebutuhan khusus, sehingga masyarakat tahu bahwa walaupun berbeda, ABK tetap dapat perlakuan sama. Jangan sampai ada bullying."
Hal ini bisa terjadi di sekolah yang inklusif, dimana ABK dan anak normal berinteraksi bersama sehingga anak belajar berempati, menghargai perbedaan, dan memiliki respek terhadap ABK sehingga mereka tidak akan melakukan bullying.
Diah juga menyarankan, saat kita bertemu atau tak sengaja berpapasan dengan keluarga yang memiliki ABK, kita bisa tersenyum dan menyapa ramah. Boleh juga bertanya tentang usia anak ataupun hobinya, seperti kita bertanya tentang anak-anak pada umumnya.
Selain itu, kita juga bisa bertanya pada orangtua dari ABK tersebut tentang apa yang dapat kita lakukan untuk membantu sang ABK merasa nyaman, seperti menanyakan apa kesukaan si anak atau aktivitas yang digemarinya, atau apa yang boleh dan tidak boleh ia makan, sehingga kita dapat menawari minuman atau makanan favoritnya.
"Menurut saya, 'perlakukanlah orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan'dapat menjadi awal bagaimana kita berinteraksi dengan ABK dan keluarganya. Tunjukkan saja sikap sewajarnya, dengan tetap menjaga sopan santun dan tata krama dalam bergaul," pesan Diah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H