Diah tak memungkiri, terkadang orangtua sulit menerima dan bersikap terbuka tentang kondisi anak, karena mereka sendiri belum bisa berdamai dengan tantangan yang diamanahkan Tuhan pada keluarga mereka. Hal inilah yang membuat merekasulit untuk membuka diri kepada orang lain.
Selain itu, orangtua yang secara pribadi juga memiliki masalah psikologis, misalnya mudah stres dan cemas, tentu juga akan semakin mempersulit dalam proses mengasuh ABK. Ada pula pasangan suami isteri yang saling menyalahkan atas kondisi anak, bukannya saling mendukung.
"Dalam kondisi demikian, perlu ada support groupdari orangtua lain yang juga memiliki ABK," Diah mengingatkan. "Orangtua juga perlu menginformasikan keluarga inti, seperti pasangan, kakak, dan adik, serta keluarga besar, guru, dan tetangga. Dengan informasi tersebut, tentu dapat mengurangi stigma yang muncul karena ketidaktahuan atau minimnya informasi tentang ABK."
Apalagi, orangtua mungkin tak selalu ada di sisi anak, entah karena sakit atau hal lain. Apabila pihak keluarga lain sudah tahu mengenai kondisi ABK, ini akan memudahkan mereka untuk ikut terlibat dalam proses pengasuhan. Setidaknya, mereka sudah tahu bagaimana harus bersikap dan bisa tetap melanjutkan aturan yang selama ini sudah diterapkan oleh orangtua.
"Minimal, dengan memberi tahu orang lain tentang kondisi anak, diharapkan dapat mengurangi stigma dan memberikan pemahaman kepada mereka, karena memiliki anak dengan kebutuhan khusus bisa terjadi pada siapa saja," papar Diah.
Kedua psikolog ini mengingatkan dampak buruk dari reaksi negatif masyarakat terhadap ABK, seperti rasa tidak percaya diri, stres karena tidak dihargai, motivasi belajar yang menurun, dan enggan bersosialisasi.
Diah menilai, sama seperti anak yang lain, jika lingkungan bereaksi negatif terhadapnya, ABK tentu akan merasa sedih, tidak nyaman, tidak percaya diri. Mereka juga bisa merasakan kesedihan yang ditunjukkan oleh orangtua atau keluarganya.
"Perasaan tidak nyaman ataupun sedih itu kemudian dapat memunculkan perilaku marah atau emosional, karena umumnya mereka kurang memahami apa yang sebenarnya terjadi, atau tidak mengetahui bagaimana cara menyalurkan emosi negatif yang dirasakan," kata Diah.
Kadang, hal seperti ini tidak bisa dihindari, terutama bagi ABK yang mulai bersekolah atau beranjak remaja dan mulai bersosialisasi. Apalagi, secara umum ABK memiliki keterbatasan dalam bersosialisasi, baik karena ada hambatan dalam hal berkomunikasi, daya tangkap, atau masalah di bagian saraf otak yang membuat mereka tidak mampu menyerap informasi yang disampaikan oleh lingkungan secara tepat.
Dengan kondisi demikian, mereka pun tidak memahami apa yang harus dilakukan dalam berinteraksi. Karena itu, tidak heran jika ada ABK yang bergaul dengan anak-anak yang jauh lebih muda usianya (karena merasa setara) atau kebalikannya, yaitu dengan yang lebih tua (karena merasa diayomi/dimaklumi).
Untuk mengatasi ini, kedua psikolog ini mengingatkan bahwa kuncinya terletak pada bagaimana orangtua dapat menyiapkan sang ABK untuk menjadi individu yang resilien, tidak mudah terpancing emosi, atau menjadi down. Pendampingan dan penerimaan orangtua dalam membekali si anak dengan motivasi internal sangatlah penting.