Mohon tunggu...
Rudy Wiryadi
Rudy Wiryadi Mohon Tunggu... Akuntan - Apapun yang terjadi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mulai hari dengan bersemangat

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Alasan Redenominasi Rupiah Rp 10.000 Jadi Rp 10 Tak Kunjung Terlaksana, DPR Jadi 'Kunci'

27 Agustus 2022   11:07 Diperbarui: 29 Agustus 2022   13:03 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Setuju redenominasi? (finance.detik.com)

"Ada banyak manfaat dari redenominasi rupiah ini, terutama dari masalah efisiensi," kata Perry Warjiyo.

Perry Warjiyo yang dimaksud adalah Gubernur Bank Indonesia (BI) saat ini.

Orang nomor satu di dunia perbankan Indonesia tersebut mengatakan hal itu pada virtual konferensi pers, Rabu (24/8/2022).

Selain dapat meningkatkan citra rupiah di mata uang dunia lainnya, redenominasi juga akan membuat persepsi perekonomian Indonesia menjadi lebih baik sehingga rupiah menjadi sejajar dengan uang dari negara lainnya di dunia.

Karena sudah banyak negara di dunia yang melakukan redenominasi ini.

Redenominasi yang dimaksud adalah menyederhanakan "tulisan" nominal rupiah menjadi singkat dengan misalnya menghilangkan tiga angka O di belakang angka yang pertama.

Rp 1.000 menjadi Rp 1. Dengan catatan penyederhanaan itu tidak mempengaruhi atau memperkecil harga sesuatu barang. Tetap bernilai seribu rupiah.

Perry menambahkan dengan redenominasi juga akan mempercepat penyebutan transaksi tanpa menyebut tiga angka 0 di belakangnya. Misalnya Rp 10.000 disebut dengan Rp 10.

Redenominasi juga akan mengefisienkan teknologi di bidang dunia usaha, perbankan, pemerintahan, dan ekonomi.

Dengan menyebutkan angka 1 rupiah saja misalnya untuk maksudnya seribu rupiah maka itu akan mempercepat waktu transaksi, laporan-laporan yang singkat, misalnya laporan pembukuan, anggaran, penulisan di nota/kwitansi/struk, atau pencatatan harga-harga barang di toko, super market, dan sebagainya.

Redenominasi juga akan mencegah mengurangi terjadinya human error karena ribet kalau menuliskan menulis huruf 0 yang banyak.

Soal redenominasi ini sudah cukup banyak dibahas sejak tahun 2014 yang lalu. Beberapa di antaranya kemudian ada yang menimbulkan pro dan kontra.

Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan menjadi yang pro. Kedua lembaga pemerintahan itu bahkan mengajukan RUU Redenominasi Mata Uang secara resmi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani yang kembali mengusulkan pembahasan mengenai RUU yang diajukan itu pada tahun 2020 lalu senada dengan pandangan dari BI bahwa redenominasi ini akan menyederhanakan digit rupiah.

"Efisiensi perekonomian," katanya.

Sedangkan mereka yang kontra menyebutkan redenominasi yang tidak tepat waktu akan menimbulkan masalah, seperti inflasi.

Mereka mencontohkan Turki yang melakukan redenominasi yang tidak tepat waktu sehingga inflasi.

Mudarat lainnya tanpa adanya sosialisasi kepada masyarakat maka tindak redenominasi akan menimbulkan kepanikan di masyarakat.

Mereka mengatakan butuh waktu setidaknya 7 tahun untuk adaptasi di masyarakat. Untuk mengurangi seminimal mungkin dampak psikologis kepada masyarakat.

Pendapat lainnya mengatakan redenominasi ini akan memakan biaya dari mencetak uang baru itu untuk menggantikan uang sebelumnya. 

Juga perlu adaptasi perubahan sistem elektronik di semua instansi, dari toko-toko, bank, lembaga atau kementerian.

BI sudah melakukan pendekatan kepada ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) dan sudah mengadakan kajian bersama tentang manfaat penyederhanaan tersebut.

"Ajuan itu kini sepenuhnya tinggal menunggu keputusan dari pemerintah," kata Perry.

Namun sayangnya, lampu hijau tak kunjung menyala lantaran DPR tidak/belum mengeluarkan landasan hukum.

Untuk itu perlu sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat akan manfaat dari redenominasi ini.

Jangan khawatir, karena penyederhanaan itu tidak akan mengurangi nilai barang yang dibeli. Semua itu demi perekonomian yang sehat dan dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil.

Membeli barang seharga Rp 89.000 maka hanya dituliskan Rp 89 saja. Kan lebih simpel?

Berbeda dengan sanering. Di mana pemotongan uang itu dilakukan dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun