Snouck Hurgronje, seorang penasihat Kerajaan Belanda untuk urusan kolonial Hindia-Belanda mencatat dalam bukunya "Nasihat-nasihat Snouck Hurgronje semasa menjadi pegawai di Hindia-Belanda" menulis di masa-masa 1 Syawal orang-orang pribumi saling berkunjung antar sanak saudara dan kerabat, membeli baju baru, dan hiburan lainnya.
Kebiasaan berkunjung pada tanggal 1 Syawal (Lebaran) dengan mengenakan baju baru itu mengingatkan Snouck Hurgronje kepada perayaan Tahun Baru di Eropa.
Snouck Hurgronje menyebutnya dengan "bulan kesepuluh". Yang mana dalam kalender Islam merupakan bulan Syawal, tanggal 1 adalah Hari Raya IdulFitri.
Pada awal-awalnya (dan sekarang juga), Batavia (Jakarta) pada waktu itu paling ramai dalam transaksi jual-beli pakaian baru ini.
"Juga makanan. Lebih banyak uang yang dikeluarkan di Batavia pada hari Lebaran," kata Snouck Hurgronje.
Kebiasaan membeli pakaian baru untuk dipakai di Hari Raya IdulFitri ini sempat disebut-sebut sebagai bencana ekonomi. Salah satu yang mengkritiknya adalah Residen Semarang, Steinmetz.
Selain Steinmetz, seorang petinggi Hindia-Belanda yang bernama De Wol, juga mengkritik kebiasaan menyambut Hari Raya IdulFitri itu sebagai bencana ekonomi.
Bukan tanpa alasan, karena pada saat itu banyak para petinggi lokal seperti Pamong Praja Bumi Putera dan Bupati yang menggunakan dana pemerintah untuk membeli barang-barang baru (termasuk pakaian) menyambut Hari Raya IdulFitri.
Seorang Belanda lainnya, Kees van Dijk mencatat jika para petinggi Bumi Putera itu membeli dan mengenakan pakaian baru bergaya mirip Eropa. Sedangkan pribumi biasa bergaya Arab dan India.
"Orang-orang yang dekat dengan Belanda pun mengenakan pakaian bergaya Eropa," tambah Kees.
Namun pada saat itu banyak di antara rakyat biasa yang membuat pakaian sendiri untuk lebih menghemat karena tidak mampu membeli baju baru yang lebih mahal.