"Sayup-sayup terdengar alunan orang mengaji dari sebuah langgar yang ada di sebelah utara,".
"Pak Badrun, mau kemana?"
"Ke langgar," jawab Pak Badrun.
Kalimat itu tidak jarang ditemui dalam bacaan tentang kisah-kisah menyentuh terutama tentang kehidupan seseorang yang tinggal di desa.
Mengapa tempat ibadah kaum Islam itu kadang disebut dengan mesjid, surau, musholla, atau langgar?
Kesamaannya keempat kata itu, mesjid, surau, musholla, atau langgar sama-sama tempat seseorang Muslim melakukan sholat berdoa kepada Sang Khalik.
Perbedaannya, mesjid umumnya berbentuk lebih besar dan lebih luas yang dapat menampung banyak umat. Sedangkan ketiga lainnya, surau, musholla, dan langgar bentuknya kecil.
Umumnya surau dan langgar berada di kampung-kampung yang luasnya tidak sebesar di "kota". Sedangkan musholla adalah "mesjid" kecil yang ada di tempat-tempat keramaian tertentu, misalnya di mall, pabrik, kantor, perguruan tinggi, sekolah, pombensin, rumah sakit dan sebagainya.
Menarik disimak mengapa musholla itu dikatakan oleh masyarakat Jawa dengan langgar?
Dalam bincang-bincang di acara "Melancong Bareng Abah Alwi: Jejak Arab di Batavia" beberapa waktu yang lalu, cendekiawan Muslim Alwi Shihab mengatakan kata langgar yang bermakna surau berasal dari kata "melanggar". Dan berasal dari wilayah Betawi, atau Jakarta sekarang.
Pada sekitar abad ke 15 Raden Kian Santang (anak dari Prabu Siliwangi) melawat ke Sunda Kelapa (Jakarta sekarang) untuk menyebarkan agama Islam.
Selain Raden Kian Santang, Islam di Jakarta juga disebarkan oleh orang-orang dari Gujarat, India, dan dari Timur Tengah (Arab).
Sebelum kedatangan mereka yang disebutkan di atas pada waktu itu masyarakat Sunda Kelapa belum beragama Islam. Mereka masih menganut Hindu-Budha, animisme, dan dinamisme.
Sejumlah orang di Jakarta itu lantas menganut agama Islam seperti yang diajarkan oleh para "wali" tersebut.
Karena mereka pada saat itu masih "minoritas" mereka menjadi lain sendiri.
Mereka yang memeluk Islam itu dianggap melakukan pelanggaran kepada warisan kepercayaan para leluhur dan masyarakat sekitarnya.
Mereka lantas membentuk komunitas dan berkumpul dalam sebuah "mesjid" yang sampai kini disebut dengan langgar.
"Langgar itu tempat berkumpul orang-orang yang melanggar adat istiadat dan kepercayaan leluhurnya," kata Alwi Shihab.
Sampai saat ini masih ada Mesjid Langgar Tinggi yang berlokasi di wilayah Pekojan Jakarta Utara.
Mesjid itu dibangun dari sumbangsih para pedagang asal Khoja, Gujarat, India. Mereka bersatu padu mengumpulkan dana untuk membangun langgar itu pada tahun 1829 Masehi atau 1249 Hijriyah.
Pada tahun 1833 langgar itu "direnovasi" oleh Syekh Said Naum dari Palembang menjadi berlantai dua.
Karena bangunannya cukup tinggi maka disebut Mesjid Langgar Tinggi.
Selamat menjalankan ibadah puasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H