Meneer-meneer dan mevrouw-mevrouw orang Belanda hanya melihat perlombaan itu sebagai hiburan dan mereka hanya tertawa-tawa saja menyaksikan keseruan lomba yang para pesertanya orang-orang pribumi itu.
Selain untuk memperingati HUT Ratu Wilhelmina, kadang Klimmast juga digelar untuk acara-acara tertentu seperti promosi jabatan, pernikahan, hajatan, atau pesta ulang tahun.
Lomba panjat pinang ini sempat menimbulkan pro dan kontra. Mereka yang kontra berpandangan lomba itu hanya mengungkit kenangan buruk masa penjajahan saja dimana bangsa Indonesia ditertawakan oleh bangsa lain.
Oleh karena itu, lomba panjat pinang dilarang digelar di beberapa wilayah tertentu di Indonesia, seperti Aceh.
"Simbol penindasan. Orang Eropa tertawa melihat pribumi saling injak. Orang Eropa tidak main itu. Mereka tertawa jika ada yang melorot. Bahkan ada yang meninggal," kata Asep.
Asep menambahkan kendati demikian apakah dengan lomba itu kita makin mengenal sejarah. Kita makin kenal pahlawan?
Mereka yang pro berpandangan lomba itu mengajarkan semangat, kerjasama, dan pantang menyerah dalam meraih sesuatu. Lomba ini juga untuk meneladani perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah.
Dalam bukunya yang berjudul "Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal", Fandy Hutari menyebutkan lomba itu memilki filosofi tersendiri tentang perjuangan mencapai kemerdekaan.
Dan nafas kemerdekaan yang diraih itu dibagi rata kepada seluruh rakyat Indonesia. Untuk meraih nikmat kemerdekaan itu harus tidak mementingkan ego pribadi.