Masih menurut Prof Cissy, kuman utama penyebab pneumonia adalah Streptococcus pneumonia dan Haemofilus influenza tipe B.S. pneumoniae menyebabkan 50 persen kasus pneumonia.
Bakteri S.pneumoniae paling banyak hidup di ujung nasofaring tanpa menyebabkan gejala. Data menunjukkan kolonisasi bakteri ini ditemukan pada 10-85 persen saat usia kurang dari 5 tahun dan 4-45 persen pada orang dewasa.
"Suatu hari kalau pertahanan tubuh anak buruk sehingga pertahanan saluran napas terganggu karena pengaruh dari lingkungan luar yang buruk, akhirnya kuman hidup bisa dapat berkembang lebih banyak dan pergi ke mana-mana menyebabkan infeksi di telinga tengah, di darah, sinusitis, meningitis dan pneumonia. Dan pneumonia sendiri sangat mudah ditularkan melalui percikan dahak saat batuk," papar Prof Cissy mengingatkan.
Kendati begitu membahayakan, dr. Cristina mengingatkan, sejatinya balita dapat dilindungi dari pneumonia dengan intervensi sederhana melalui pengobatan dengan antibiotik, imunisasi lengkap, gizi yang memadai dan mengurangi faktor risiko lingkungan.
Kasubdit ISPA ini juga menekankan pencegahan dapat dimulai sejak kehamilan dengan melakukan pemeriksaan antenatal selama kehamilan, minimal empat kali pemeriksaan. Selain itu, memberikan ASI eksklusif, gizi seimbang, mengurangi polusi udara dan lain lain.
Kedua pakar ini sepakat bahwa imunisasi untuk mencegah pneumonia sangat penting dilakukan. Namun keduanya juga menyayangkan bahwa sampai saat ini vaksin untuk pencegahan bakteri pneumokokus belum masuk dalam program imunisasi nasional yang ditanggung oleh pemerintah. Padahal kebutuhannya begitu mendesak mengingat jumlah penderita pneumonia terbilang tinggi dari tahun ke tahun.
Karena itu yang bisa dilakukan sebagai upaya antisipasi adalah dengan deteksi dini sederhana pneumonia yang bisa dilakukan di rumah, yaitu dengan menghitung napas ketika anak tidur dapat dijadikan patokan apakah anak menderita pneumonia atau tidak sehingga dapat dilakukan pengobatan segera. Namun sangat disayangkan bahwa lebih dari 50 persen penderita pneumonia tidak diterapi dengan baik.
Perlu dipahami bahwa imunisasi lengkap dapat membantu mencegah pneumonia, terutama campak, dan DPT (terutama pertusis). Vaksin pneumonia seperti Hib dan PCV (vaksin konjugasi pneumokokus) mempunyai daya proteksi tinggi untuk pneumonia.
World Health Organization (WHO) merekomendasikan setiap negara di dunia memasukkan vaksinasi pneumonia ke dalam program nasional imunisasinya untuk menekan angka kasus pneumonia di negara masing-masing. Saat ini vaksin PCV untuk pencegahan pneumonia yang tersedia mengandung 10 dan 13 strain bakteri pneumokokus, merupakan strain yang paling berbahaya. Vaksin PCV diberikan 3 kali pada usia 2, 4, 6 bulan dan diulang ketika anak menginjak usia 12-15 bulan.
Prof. Cissy yang saat ini menjabat Ketua Satgas Imunisasi IDAI berharap vaksin pneumokokus dapat segera masuk program pemerintah sehingga semakin banyak anak Indonesia yang mendapatkan manfaat dan terproteksi dari penyakit-penyakit yang disebabkan bakteri pneumokokus.
Vaksin yang sudah lama dikenal yaitu Campak dan Batuk rejan (pertusis/DTP) dapat menurunkan kejadian pneumonia. Sementara itu vaksin yang lebih baru yaitu vaksin Haemophilus influenzae type b (Hib) and Streptococcus pneumoniae mempunyai daya proteksi tinggi untuk pneumonia. Terkait hal ini direkomendasikan setiap negara memasukkan vaksinasi campak, pertussis, Hib dan conjugate pneumococcal vaccines (PCV) kedalam program nasional imunisasi. Dan vaksin yang juga penting adalah influenza.