Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, katak adalah binatang amfibi pemakan serangga yang hidup di air tawar dan di daratan. Berkulit licin, berwarna hijau atau merah kecoklat-coklatan, kaki belakang lebih panjang daripada kaki depan, pandai melompat dan berenang.
Itu keadaan fisik secara ilmiahnya. Tetapi dalam bahasa plesetannya, kenapa binatang ini bisa hidup di dua tempat, di darat dan air? Jawabannya adalah, sebab katak atau kodok, apabila dibaca dari depan atau dari belakang bunyinya tetap sama, yaitu katak atau kodok. Makanya ia bisa hidup di dua tempat.
Lain pula cerita yang hidup di alam antah berantah, selain bentuknya yang unik, katak mempunyai sifat yang tidak terpuji. Itu hanya ada pada cerita. Singkat ceritanya, suatu ketika serombongan katak terperosok masuk lubang, kemudian mereka berlomba untuk keluar dari kedalaman dengan caranya sendiri-sendiri. Hal itu dilakukan untuk menyelamatkan diri dari kumpulannya yang terperosok. Cara yang dipakai katak, yaitu melompat-lompat, menginjak-injak, tabrak sana-sini, sikut sana sikut sini, dengan tujuan agar dapat selamat atau keluar dari kungkungan terlebih dulu. Tidak peduli akan penderitaan yang lain. Yang penting ia selamat dengan nalurinya.
Ketika itu ada rombongan katak yang lain sedang lewat, mereka tidak menolongnya, malahan mengatakan dan mengoloknya, bahwa mereka tak perlu repot-repot naik. Terima saja nasibnya, pasrah, toh lambat laun, juga akan mati kepayahan. Betul, katak-katak itu satu persatu kemudian mati kelelahan. Namun hanya ada satu katak umurnya sudah tua, jongkok di pojok lubang, hanya diam saja. Ia sedang mencari strategi bagaimana caranya dapat naik ke atas. Ia berusaha melompat-lompat juga, tetapi tidak bisa mencapai tepian lubang.
Ia tak kenal menyerah, berusaha terus. Akhirnya usahanya membuahkan hasil. Ia selamat sampai di bibir lubang, walaupun nampak kepayahan, kehabisan tenaga. Begitu ia sampai di atas, leganya bukan main. Nafasnya plong dan ia kemudian mengambil nafas yang panjang. Menghirup udara sebanyak-banyaknya, sepuas-puasnya. Ada kelegaan yang luar biasa ia rasakan. Menjalar ke seluruh sendi-sendi tubuhnya. Bahkan ke sendi kehidupannya.
Beberapa katak yang menyaksikan itu hanya berkata sinis; kan sudah dibilang, mbandel sih. Tuh, nafasnya ngos-ngosan. Insaf sudah tua, jelek lagi. Kuasihaannn, deh lo!
Maka dengan entengnya si katak itu menjawab: Wong aku tuli kok!
Waalah, pantesan, mau dikatain apa juga, ia memang tuli. Buang-buang enerji saja.
Rupanya sang katak membuka rahasia dirinya, ia tidak mendengar apa-apa sebab ia tuli. Jadi bukannya tak mau dengar omongan katak lain. Dan itulah keuntungannya ia tuli. Sebab dengan demikian ia tidak bisa diprovokasi, terutama ia tidak mau mendengarkan omongan atau ajakan yang sifatnya tidak jelas bahkan cenderung memfitnah.
Sama seperti kita, sering mendengarkan gosip, berita burung, bisikan-bisikan, omongan yang belum jelas kebenarannya.
Usaha melewati ruang, jalan yang susah, diperlukan suatu perjuangan. Ada tantangan untuk dapat memicu dan memacu semangat hidup dalam diri. Dorongan untuk tetap bertahan, keinginan kuat agar harapan dapat terwujud sesuai keinginan.
Ide, inspirasi dan angan-angan dapat tersalur merupakan niat yang tak mengendor, supaya dapat menghasilkan yang terbaik. Semua rintangan, kondisi serta situasi yang begitu berat, tidak mudah. Namun kalau sudah berhasil, hanya kelegaan yang didapat.
Maka hiruplah nafas dalam-dalam seraya bersyukur. Tuhan tetap memperhatikan harapan dan doa kita. Tidak perlu takut akan kegagalan. Apalagi sampai membenci diri sendiri. Sebab kebebasan dan kebahagiaan selalu akan menyusul kemudian. Merupakan buah pertobatan dan perjuangan.
Yang tidak kalah penting dalam suatu tindakan kehidupan, tidak hanya cukup mengandalkan nalar dan naluri saja. Tetapi naluri juga harus banyak bicara dalam melakukan suatu tindakan. Agar ada keseimbangan.
Dalam akhirnya saya cuplikan karya Anthony de Mello, SJ dalam bukunya Doa Sang Katak 2,cetakan ke-11, terbitan tahun 2000, halaman XXII: Meskipun hati manusia merindukan Kebenaran, tempat satu-satunya ia dapat menemukan pembebasan dan kebahagiaan, reaksi pertama manusia terhadap Kebenaran itu ialah benci dan takut. Ini adalah suatu misteri yang besar.
K pada kebenaran sengaja ditulis dengan huruf kapital "K" berarti kebenaran mengenai diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H