Keluarga yang tidak bahagia punya cara sendiri untuk tidak bahagia, kata Leo Tolstoy, sastrawan dan tokoh filsafat Rusia. Lalu, jika tak ada rumah tangga yang bebas dari konflik, bagaimana kita menyikapi setiap dinamika dengan baik?
Tak ada gading yang tak retak. Begitu pula setiap rumah tangga, yang tentu tak lepas dari "riak" dan "gejolak" diantara suami dan istri.
Selama bisa terselesaikan dengan baik dan tidak terlalu sering terjadi, konflik yang mewarnai kehidupan berumah tangga masih dianggap wajar. Yang tidak wajar tentu adalah kebalikannya. Ini ditegaskan Esther Widhi Andangsari, M.Psi., Psikolog, staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara.
"Rumah tangga yang rentan konflik adalah ketika suami istri tidak pernah membahas jika ada masalah kecil. Dianggap tahu sama tahu dan 'kamu harus mengerti saya maunya apa,' jadi semacam cenayang yang harus bisa membaca keinginan pasangan," kata Esther.
Secara senada, Melly Puspita Sari, S.Psi., Psikolog, penulis buku The Miracle of Hug dan anggota World Society of Victimoligy, mengutarakan konflik yang wajar adalah yang tidak memecah rumah tangga. Sebaliknya, yang tidak wajar adalah konflik yang berkelanjutan dan tanpa solusi, yang ujung-ujungnya mengakibatkan keretakan.
"Ketika memutuskan menikah, seharusnya seseorang sudah siap menerima semua hal yang berbeda dari pasangan, bukan menyuruh pasangan untuk berubah," kata Melly.
"Kita tidak bisa mengubah seseorang, kecuali dia memang mau berubah. Sebaliknya, baik suami maupun istri perlu menyelaraskan kemauan keduanya untuk sama-sama berjalan beriringan," tandas Melly.
Menurut Esther, jika sebuah konflik terjadi, maka suami-istri pertama-tama harus berpikir, sebenarnya masalahnya apa. Kadang suami berpikir A, istri berpikir X, sehingga mereka akan salah melihat segala sesuatu.
"Kalaupun ada luapan emosi, tetaplah proporsional. Jangan terlalu banyak dikeluarkan, meski jangan pula ditahan, sebab ini akan dapat terakumulasi dan menjadi bom waktu. Lakukanlah komunikasi terbuka. Jangan saling melempar, apalagi saling menyalahkan," kata Esther.
Ketika ada satu konflik besar, maka masing-masing mengambil posisi sebagai suami atau istri, bukan sebagai majikan atau orang yang berkuasa atas pasangannya. Mengalah bukan berarti kalah, melainkan jeda sejenak untuk dapat menata kembali kira-kira apa yang lebih banyak manfaatnya.
Esther menimpali, idealnya setiap RT punya teritori sendiri setelah menikah, apalagi saat ini banyak pasangan muda masih gabung dengan orangtuanya. Karena teritori itu menyatakan bahwa pemimpinnya siapa. Apalagi kalau sudah ada anak-anak.