Mohon tunggu...
Rudy Wiryadi
Rudy Wiryadi Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

pelangidipagihari.blogspot.com seindahcahayarembulan.blogspot.com sinarigelap.blogspot.com eaglebirds.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Salahkah Bentukan-bentukan Baru di Bahasa Indonesia?

5 Agustus 2017   10:25 Diperbarui: 5 Agustus 2017   11:09 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasa itu pada umumnya dinamis, mengikuti perkembangan masyarakat penggunanya. Boleh jadi kaidah-kaidah yang telah dirumuskan, dibakukan oleh para pakar beberapa puluh tahun yang lalu mengalami perubahan yang luar biasa dan dirasakan oleh masyarakat di tahun-tahun sekarang ini. Hal ini dapat dilihat, dibaca di media cetak dan media elektronik. Pemakaian serapan dari bahasa asing, terutama American-English. Penyerapannya tidak hanya sekedar mengambil begitu saja, namun sudah berlebihan, terutama bisa kita dengar dalam percakapan orang Indonesia.

Bahasanya tumpang tindih, memberi kesan ngawur, padahal padanannya sudah ada. Bahasa yang dipakai menjadi bahasa gado-gado. Coba perhatikan pada masyarakat yang hidup di Ibukota, masyarakatnya yang begitu majemuk, ada Jawa, Sunda, Batak, Padang, dan lain sebagainya. Ini tidak hanya sekedar bahasa dialek, tetapi serapan bahasa asing yang digunakan sudah sedemikian berlebihan. Boleh saja orang menyebutnya sebagai bahasa gaul. Kata-kata berikut ini pasti sudah pernah didengar: "Please deh!" "Huawaduh, boring deh aku." "You, kan tahu kalau aku lagi punya trouble." "By the way, ya oke lah!" "Sudah di upgrade belum?" "Kamu kan bisa meng-lay out sendiri." "Kalau gitu, why not?" "Kita mah, naik aja bus way." "I maunya Fifty-Fifty, gitu loh! Tapi, ya, up to you lah." Dan masih banyak contoh lainnya.

Hal di atas baru kata yang diserap. Sekarang mari kita perhatikan kata yang sering kita jumpai, terutama di surat kabar dan majalah, antara lain: memerhatikan, memesona, memopulerkan, memercaya, permenungan, memerkosa, menertawakan, dan masih banyak lagi. Kalau kita runut ke belakang, surat kabar KOMPAS yang telah mempelopori secara resmi, pada tahun 2005, ketika merayakan ulang tahun harian tersebut. Semua konsonan tak bersuara (k, p, t, s) diluluhkan.

Sebagai contoh, ME+PERHATIAN menjadi MEMERHATIKAN, bukan MEMPERHATIKAN. ME+PESONA menjadi MEMESONA bukan MEMPESONA. ME+KONSUMSI menjadi MENGONSUMSI bukan MENGKONSUMSI. ME+SOMASI menjadi MENYOMASI bukan MENSOMASI. Dan lain-lain. Kata Mempesona, Memperhatikan, Mempercayai, Mempengaruhi, dan lain-lain yang telah bertahun-tahun dianggap salah.

Kata bentukan baru, begitu membuat bingung banyak orang. Pertanyaannya, apa tidak sebaiknya kembali saja ke bahasa yang umum dipahami masyarakat? Menurut kamus, bagaimana? Memang kalau bahasa yang dipakai di media adalah permainan kata-kata, seorang jurnalis bekerja dengan kata-kata. Tetapi ia bukan seorang pakar bahasa. Hal ini seandainya didiskusikan akan berlarut dan mungkin juga tidak menghasilkan apa-apa.

Menurut Prof. Dr. Gorys Keraf (RIP), pakar bahasa dalam bukunya Tatabahasa Indonesia, terbitan Nusa Indah, Flores tahun 1970 yang telah dicetak ulang sebanyak lebih dari 20 kali, ada lima rumusan pedoman nasalisasi:

  1. Nasalisasi berlangsung atas dasar homorgan. Contoh: p dan b bernasal m (pukul jadi memukul, buat jadi membuat). Fonem k dan g bernasal ng (kais jadi mengais, gambar jadi menggambar).
  2. Konsonan bersuara tetap, konsonan tak bersuara (k, p, t, s) luluh.
  3. Nasalisasi hanya berlaku pada kata-kata dasar atau yang dianggap kata dasar. Kata berimbuhan tidak mengalami nasalisasi.
  4. Fonem y, r, l, w tidak mengalami nasalisasi, istilahnya nasalisasi zero.
  5. Kata-kata serapan yang masih terasa asing, meski menggunakan k, p, t, s tidak diluluhkan untuk menjaga jangan sampai menimbulkan salah paham.

Dari rujukan pedoman Gorys Keraf tersebut, maka bentukan-bentukan baru seperti Memengaruhi, Memunyai, Memerhatikan, Memomulerkan ..... tidak salah. Sebab, konsonan tak bersuara (k, p, t, s) memang harus luluh. Nah, kalau mengaji bukan berarti dari Me+Kaji menjadi Mengaji. Ada beberapa kata yang mempunyai pengecualian.

Jadi bentukan-bentukan baru tidak salah. Namun kata-kata yang telah bertahun-tahun menjadi kebiasaan yang kita pakai, sudah salah kaprah, kesalahan yang dibiasakan terus-menerus. Namun selalu ada pengecualian terhadap bahasa-bahasa, seperti halnya bahasa Inggris, punya kata kerja tak beraturan yang menyimpang dari rumus umum. Harus menghafal sekian banyak irregular verbs kalau mau berbahasa Inggris yang baik dan benar. Jadi pada prinsipnya, peluluhan berlaku pada kata-kata dasar, bukan afiks (imbuhan).

Pedoman gampangnya adalah, per- atau pe- bukan merupakan bagian dari kata dasar, maka (p) itu tidak akan luluh (memesona, memedulikan, memperkecil, memperbesar, mempersatukan).

Semoga kita tidak menjadi bingung berkepanjangan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun