Salah mengkombinasikan herba dan obat dokter, tidak hanya dapat mengurangi efektivitas obat, namun juga mempertaruhkan nyawa. Bagaimana agar mengkonsumsi herba dan obat kimia secara bersamaan bisa bermanfaat?
Pengobatan alternatif pernah dianggap membingungkan bagi pengobatan modern, sebagaimana dinyatakan dalam Australian Journal of Medicine 1985. Tertulis disitu, "Orang jadi bimbang apakah harus menolaknya, mengabaikannya, atau lebih sering menggunakannya."
Tapi itu terjadi beberapa dekade lalu. Kini pengobatan herba tidak bisa diabaikan lagi. Produk-produknya telah mengalami banyak perubahan, khususnya dalam tahun-tahun terakhir ini. Banyak formula herba tradisional telah digantikan dengan herba tunggal dalam bentuk konsentrat yang distandarisasi, sehingga dosisnya makin akurat dan hasilnya konsisten. Tapi penggunaan suplemen herba berbarengan dengan obat farmasi, apakah mendukung atau malah sebaliknya?
Memperkuat, memperlemah, atau meracuni?
Setidaknya 25% obat dari dokter atau obat bebas dibuat dari bahan prototipe alami (yaitu tanaman herba) yang telah digunakan selama berabad-abad. Maka jika obat farmasi dan herba yang berbahan sama digunakan berbarengan, ada potensi terjadinya dampak tambahan yang bisa menguntungkan namun bisa pula merugikan. Interaksi negatif bisa muncul karena ada beberapa jenis herba yang benar-benar bertentangan dengan obat-obat tertentu.
Sudah banyak kejadian merugikan akibat kurang berhati-hati dalam "mengawinkan" herba dengan obat dokter.
"Mengkonsumsi herba dan obat kimia secara bersamaan memang perlu ekstra hati-hati. Cara paling mudah, adalah membekali diri dengan pengetahuan yang cukup, agar senyawa aktif didalam herba dan obat kimia tersebut bersinergi, sehingga pengobatan menjadi lebih optimal," tutur Dr Setiawan Dalimartha, dokter dari Jakarta yang mendalami herba.
Interaksi obat dan herba
Menurut Dr Dalimartha, meskipun sama-sama berkhasiat, herba dan obat kimia bekerja dengan cara yang berbeda. Kalau obat-obatan kimia bekerja dengan meredam gejala sakit, herba (baik dalam bentuk suplemen, kapsul, jamu, atau rebusan) umumnya berperan dalam menyeimbangkan fungsi organ tubuh agar kembali bekerja dengan baik.
Interaksi herba dan obat kimia dapat terjadi, karena herba dan obat kimia mengandung senyawa aktif yang sama-sama mempengaruhi tubuh. Jika herba dan obat kimia ini dikonsumsi secara bersamaan, ada 3 interaksi yang mungkin timbul yaitu efeknya semakin kuat, menjadi berkurang, atau malah hilang sama sekali. Cukup sulit menentukan mana yang paling baik, karena efek yang diinginkan oleh jenis penyakit dan kondisi tubuh pasien.
Namun Dr Dalimartha mengatakan, efek yang ideal adalah ketika herba dan obat kimia saling melengkapi dan disesuaikan dengan penyakit pasien. Misalnya, obat kimia untuk mengatasi gejala flu juga disertai meniran (Phyllanthus niruri), Â untuk memperkuat daya tahan tubuh. Dengan begitu, herba dan obat kimia akan berbagi tugas; kalau obat akan menghilangkan sakit kepala, meniran akan membangun pertahanan tubuh supaya lebih cepat sembuh.
Interaksi yang menguntungkan juga terjadi kalau herba yang dikonsumsi berefek mengurangi efek samping obat, sementara obat kimia menekan pertumbuhan virus, temulawak "merawat" organ hati, yang kerap terganggu akibat mengkonsumsi obat-obatan HIV/AIDS dalam waktu lama. Selain itu, temulawak juga meningkatkan nafsu makan dan memperbaiki fungsi pencernaan. "Ini menguntungkan, karena ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) sering kehilangan selera makan dan diare"
Meskipun begitu, interaksi herba dan obat kimia yang menguntungkan juga bisa jadi bumerang. Salah satunya terjadi bila herba yang kita konsumsi mempunyai khasiat yang sama dengan obat, contohnya yang sama-sama berefek hipoglikemik. Pada dosis yang tepat, kombinasi semacam ini membuat kadar gula darah lebih cepat turun ke angka yang diinginkan. Namun kalau melalaikan dosisnya, bisa-bisa kadar gula darah "terjun bebas" dan justru membahayakan nyawa.
Perhatikan dosis, jenis, dan efeknya
"Bagaimana kombinasi herba dan obat kimia menjadi menguntungkan atau merugikan," Dr Dalimartha menjelaskan, "sangat dipengaruhi oleh dosis, jenis, dan efek yang terdapat didalam kedua bahan tersebut. Kalau dosisnya terlalu sedikit, efeknya tidak terasa. Begitu juga sebaliknya, bila dosisnya terlalu tinggi, bisa menimbulkan efek yang berlebihan.
Jenis herba dan obat yang digandengkan juga penting. Kita bisa mengetahui jenis obat dengan menanyakan kepada dokter, apakah obat yang diresepkannya itu tergolong jenis hipoglikemik, antibiotik (untuk membunuh bakteri), antiviral (membunuh virus), antikoagulan (mengencerkan darah), steroid, dan lain sebagainya. Cara lainnya, juga bisa kita lakukan dengan mencermati brosur didalam kemasan.
Sayangnya, cara semacam itu sulit didapat jika kita mengkonsumsi herba. Sebab, informasi detail mengenai herba masih (saja!) tersandung penelitian dan uji klinis, sehingga jumlah herba yang diakui secara ilmiah masih terbatas. Hal ini menyebabkan informasi mengenai kandungan, dosis aman, dan efek-efek yang ditimbulkan juga belum mencukupi. Menanyakan hal ini kepada sembarang dokter juga hampir tidak mungkin mengingat jumlah dokter yang mengenal tanaman obat belum banyak.
"Meskipun begitu," lanjut Dr Dalimartha, "kita bisa mengetahui jenis herba dengan mengintip efeknya." Apakah herba itu berefek meningkatkan absorpsi, melonggarkan peredaran darah, membunuh bakteri, menghilangkan demam, memudahkan BAB atau buang air kecil, menurunkan tekanan darah, meningkatkan nafsu makan, dll. Setelah mengetahui efek herba, perhatikan jenis obat yang akan diminum. Dengan begitu, kita bisa mengetahui apakah herba dan obat tersebut merupakan kombinasi yang tepat atau bukan.
Oleh sebab itu, jika akan mengkombinasikan herba dengan obat kimia, ada baiknya berkonsultasi terlebih dulu dengan ahli herba, sinshe, atau dokter yang mendalami herba. Mereka ini tergabung dalam Perhimpunan Dokter Indonesia Pengembang Kesehatan Tradisional Timur (PDPKT), sebagai organisasi dibawah Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Agar aman dan efektif, waktu mengkonsumsi juga harus diperhatikan. Menurut Dr Dalimartha, sebaiknya minum herba dua jam sebelum atau sesudah mengkonsumsi obat dokter. "Selama waktu itu, biasanya proses mencerna obat sudah selesai sehingga interaksi yang tidak diinginkan bisa dihindari, dan efektivitas herba yang yang dikonsumsi tetap terjaga.
"Jangan lupa mengamati setiap reaksi yang timbul usai mengkonsumsi keduanya. Bila merasa lebih baik atau berdasarkan hasil pemeriksaan medis menunjukkan tanda-tanda perbaikan, konsultasikan kepada dokter untuk mengurangi dosis obat," saran Dr Dalimartha.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI