Jika memungkinkan, saran Elizabeth, ajak anak ke pojok ruangan, lalu tenangkan dirinya. Atau, orangtua bisa mengambil sesuatu yang si anak suka sebagai konsekuensi agar tantrumnya mereda. Hal ini dilakukan agar anak memahami dan belajar mengelola emosi di dalam dirinya.
"Ajarkan anak bahwa ia boleh mengekspresikan emosi marah, namun mesti dengan cara, waktu, dan tempat yang tepat. Jika langkah tersebut konsisten dilakukan oleh orangtua, anak pasti bisa mengelola emosinya dengan baik dan benar," tegas Elizabeth.
Metode lain yang bisa dilakukan adalah aktivitas fisik: Kenali tanda-tanda ketika anak akan mengalami tantrum, dan segera ajak ke tempat bermain untuk melempar sesuatu ke arah target tertentu, berlari mengelilingi tempat tersebut, atau bahkan menari mengikuti irama lagu.
Rendra mewanti-wanti agar orangtua tidak memarahi anak yang sedang tantrum, karena ia akan membalas dengan berteriak dan membuat tantrumnya semakin tidak terkendali. Jangan pula memukul atau memberi hukuman fisik lain, sebab ini akan membuat anak tidak memahami fungsi atau pentingnya arti emosi marah yang dirasakan.
"Ketika tantrum mereda, ajak anak berdiskusi dan bernegosiasi. Selain untuk memperoleh keputusan bersama, anak belajar metode penyelesaian masalah yang lebih adaptif," tutur Rendra. Untuk tantrum yang sudah dikategorikan bermasalah, dapat menggunakan metode modifikasi perilaku.
Adanya ekspresi menyesal atau sayang dari anak kepada orangtua pasca-tantrum merupakan indikasi bahwa anak sudah mulai memahami bahwa perilakunya tidak sejalan dengan ekspektasi orangtua. Anak akan memahami hal tersebut bila orangtua secara konsisten mengajaknya berdialog pasca-tantrum dan menghargai emosi yang dirasakan oleh anak.
Seiring bertambahnya usia, kata Rendra, tantrum akan berkurang karena anak kian mampu mengekspresikan emosinya secara verbal. Tentu, adalah tugas orangtua untuk memberikan teladan yang baik pada anak dalam mengekspresikan emosi marah, agar anak pun tumbuh menjadi individu dengan kecerdasan emosi yang baik.