Menurut psikolog yang juga berpraktek di Sekolah Menengah Cikal-Amri dan Yayasan Pulih ini, tantrum akan menurun frekuensi dan durasinya ketika anak-anak sudah lebih bisa mengekspresikan emosinya secara adaptif, misalnya dengan mengkomunikasikan perasaan mereka secara verbal.
Tentu saja, kemampuan tersebut juga butuh dukungan dari orangtua yang responsif terhadap anak. Respons yang keliru membuat perilaku tantrum ini menetap hingga remaja bahkan dewasa, misalnya dengan menuruti atau mengalah terhadap permintaan anak.
Anak lantas belajar bahwa mereka bisa mengendalikan situasi atau keputusan orangtua dengan menampilkan perilaku tantrum. Ini bisa berlanjut hingga dewasa.
Kedua pakar ini memaparkan sejumlah langkah yang patut dicoba kala menghadapi ledakan amarah si kecil.
Rendra menilai, reaksi lazim orangtua di Indonesia saat menghadapi tantrum anak adalah menuruti kemauan sang anak. Ini karena orangtua umumnya tidak nyaman dengan perilaku tantrum anak, apalagi bila di depan publik. Namun, tak sedikit pula orangtua yang mengabaikan anaknya ketika tantrum, dan ini sesungguhnya bisa menjadi strategi mengatasi tantrum.
"Abaikan anak ketika sedang mengalami tantrum. Biarkan ia mengalami keseluruhan tahapan tantrum hingga selesai," saran Rendra. "Namun, perhatikan kondisi di sekitar si anak. Bila membahayakan dirinya maupun orang lain, pindahkan anak ke wilayah yang lebih aman dan sepi."
Cara lain? Peluk anak erat dari belakang bila perilaku tantrum yang ditunjukkan berpotensi membahayakan. Lalu, bicaralah di telinga anak dengan nada suara lembut. Minta anak untuk tenang, terimalah emosi marahnya, dan sampaikan bahwa pelukan ini akan dilepas bila anak bisa tenang.
"Semakin tenang orangtua menghadapi anak, semakin cepat juga anak merasa tenang," ungkap Rendra.
Saran senada disampaikan oleh Elizabeth, yang menegaskan bahwa pelukan juga baik bagi anak yang sedang emosional. "Ketika anak tantrum, peluklah dia. Pelukan sangat membuat nyaman untuk anak-anak balita," tuturnya.
Umumnya, anak usia balita belum bisa diajak berkomunikasi. Karena itu, orangtua harus banyak sabar dan memberi pelukan. Yang pasti, jangan biarkan anak yang sedang tantrum, karena besok-besok dia bisa tantrum lagi. Biarkan anak mengeluarkan emosinya, namun jangan berlarut-larut.
"Katakan pada anak bahwa mengekspresikan emosi itu boleh, tapi jangan berlebihan, apalagi sampai menyakiti diri sendiri maupun menyakiti orang lain," kata Elizabeth.