Mohon tunggu...
Rudy Wiryadi
Rudy Wiryadi Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

pelangidipagihari.blogspot.com seindahcahayarembulan.blogspot.com sinarigelap.blogspot.com eaglebirds.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cemburu Tandanya Cinta?

22 Juni 2017   07:54 Diperbarui: 22 Juni 2017   11:23 3203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cemburu diyakini sebagai tanda cinta. Padahal cemburu yang tidak pada tempatnya berpotensi mengganggu bahkan menghancurkan hubungan. Bagaimana cemburu yang benar dan menyehatkan?

Mudah saja menilai seseorang cemburu atau tidak, jika ia tampak resah saat pasangan tak ada di dekatnya, sensitif, stalking atau mencari tahu via telepon genggam atau sosial media pasangan, banyak bertanya, memonitor gerak gerik pasangan, curiga pada pasangan dan jika bicara menjadi agak ketus, cemas, padahal tidak jelas penyebabnya. Itulah ciri-ciri cemburu yang lazim pada seseorang.

"Sejatinya cemburu tak lebih dari luapan emosi," ungkap Rani Agias Fitri, M.Psi, Psikolog, staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara.

"Emosi yang kompleks karena di dalamnya ada perasaan takut ditinggalkan, perasaan terhina, dan kemarahan. Bukan perasaan terancam ketika ada orang lain yang akan mengganggu atau menjadi orang ketiga dalam hubungan romantis. Masyarakat menganggap cemburu itu perasaan takut ditinggalkan, padahal belum tentu, sebetulnya itu masalah persepsi yang kita miliki," papar Rani.

Aditia Samesti, M.Psi, Psikolog, dari ABusiness Consultan menyatakan,"Faktor lain sebab cemburu bisa karena masa lalu dan lingkungan yang berpotensi memunculkan suatu kecurigaan. Contoh, pasangan yang bekerja dengan banyak wanita-wanita cantik atau pria-pria tampan seperti di dunia hiburan. Selain itu sifat pasangan yang sangat ramah dan digandrungi banyak orang, jadi kekhawatiran tersendiri dibanding orang yang selalu formal, cenderung kaku, walaupun hal tersebut tidak mutlak."

Secara ilmiah ada dua jenis cemburu atau jealous, yaitu:

  1. Cemburu yang bersifat curiga, hampir sama dengan cemburu buta. Kecemburuan yang sifatnya kronis, pada dasarnya dia memiliki sifat tidak mudah percaya, mudah curiga, merasa terancam, sementara ancaman tersebut tidak ada.
  2. Cemburu reaktif merupakan perasaan cemburu yang ancamannya memang benar-benar ada. Jenis inilah yang paling banyak dialami oleh sebagian besar orang.

Rani menambahkan, "Banyak hal yang bisa memicu cemburu, seperti ketergantungan yang berlebihan pada pasangan, neuroticism atau mudah cemas, merasa tidak nyaman dengan sendiri juga dengan pasangan, merasa dirinya tidak pantas untuknya."

Menurutnya, cemburu tidak selalu negatif, apalagi cemburu yang wajar dibutuhkan untuk memupuk rasa cinta terutama di masa awal menjalin hubungan. Seiring berjalannya waktu, mestinya tumbuh rasa percaya sehingga cemburu tidak berlaku lagi. Mungkin, bagi pasangan yang dicemburui sering kali membuatnya merasa begitu berharga bagi pasangannya.

"Karena dengan cemburu ini memberi sinyal terjadinya sesuatu pada hubungan. Tetapi akan jadi masalah kalau cemburunya tidak beralasan, berlebihan bahkan tidak realistis. Ketika seseorang yakin ada hal yang mengancam hubungannya, tetapi ketika tidak ada bukti atau ada masalah dengan dirinya, tanyakan pada diri sendiri mengapa timbul rasa cemburu yang yang tak beralasan. Itu tandanya cemburu buta loh, bahkan pasangan kita bisa tidak nyaman dan berdampak pada perpisahan," tutur Rani.

"Cemburu yang sehat dan proporsional tetap dibutuhkan, sebagai ungkapan ekspresi bahwa dia memang mencintai dan ingin menjaga hubungan ini. Terapi cemburu buta bisa merusak hubungan. Yang namanya buta itu tidak melihat, kalau tidak melihat pasti banyak nabraknya. Karena kendali diri yang lemah dan bersikap irasional," Tia menambahkan.

Ketika sebuah hubungan sering diwarnai rasa cemburu, kedua psikolog ini menyarankan untuk segera mengevaluasi letak masalah sebenarnya.

"Insrospeksi, apakah hal ini terkait rasa tidak percaya diri, ketergantungan yang besar pada pasangan seolah tidak ada orang atau hal lain yang bisa dilakukan. Dan yang tak kalah pentingnya membangun komunikasi terbuka dua arah dengan pasangan. Tumbuhkan rasa saling percaya, ciptakan komunikasi yang sehat, hindari aktivitas yang bisa menstimulus curiga tak beralasan," Rani mengingatkan.

"Bagi pasangan yang dicemburui, jaga jarak dengan hal-hal yang bisa memicu rasa cemburu pasangan, tepati, pastikan sejalan antara kata dan tindakan. Saling jujur dan terbuka satu sama lain, kemukakan kesalahan yang dilakukan, dan kembali ke dasar tujuan hubungan mau diarahkan kemana, tujuannya seperti apa," saran Rani lagi.

Tia menambahkan. "Keduanya mesti sama-sama melihat apa sebenarnya yang dicemburui, kalau memang ada situasi yang berpotensi menimbulkan rasa cemburu, segera dikurangi. Tetapi kalau memang pasangan betul-betul tidak melakukan sesuatu yang dicurigai, yakinkan pasangan tidak melakukannya, harus dikomunikasikan secara terbuka pada pada pasangan."

"Sejak awal terbukalah pada pasangan tentang kondisi lingkungan tempat kerja atau komunitas kita. Jika tidak dilibatkan secara langsung, minimal ceritakan, tunjukkan foto, atau kenalkan pasangan dengan teman-teman kita. Terlebih bagi mereka yang lingkungan kerjanya didominasi oleh lawan jenis," imbuhnya lagi.

Sering kali cemburu tidak hanya berdampak buat diri dan hubungan, tidak sedikit kasus kriminal yang dipicu oleh rasa cemburu. Hal ini, menurut Rani, kembali lagi ketika seseorang memiliki ketergantungan yang berlebihan pada pasangannya, sehingga tidak bisa melihat orang lain atau cara lain yang digunakan.

"Karena dalam cemburu ada tiga faktor yang terlihat, yaitu kognitif, emosi, dan perilaku. Ada peluang untuk sampai pada perilaku nekat bila terjadi kombinasi ketiga faktor ini. Yang paling awal kognitif atau pemikiran dan emosinya, ketika keduanya mendominasi akhirnya muncul perilaku yang ekstrem seperti membunuh. Karena itu dibutuhkan kendali emosi yang kuat. Memang tidak mudah, namun harus terus dilatih untuk bisa mengendalikan diri dan emosi dengan baik " paparan.

"Pastikan memilih pasangan yang matang dan dewasa sehingga tidak menguasai, saling melengkapi, dan enak diajak berdiskusi. Kalau sudah sampai tahap itu, akan mudah menjalani hubungan tanpa harus direcoki oleh cemburu tak berdasar," pungkas Tia mengingatkan.

Yuk, jadikan cemburu sebagai bumbu cinta, bukan candu yang membuat hubungan berakhir duka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun