Aku ingin tertawa sekencang-kencangnya
Bertepuk tangan atas kelihaianmu bersandiwara
Bermain di panggung yang bermahkota tahta
Hingga (entah) sampai kapan tontonan itu berakhir
Â
Peran yang penuh kebohongan publik
Kata-katamu sangatlah mengecoh pendengarnya
Pengelabuhan sungguh sempurna di kursi pasi
Seakan-akan tiada jejak terlihat oleh kemiskinanku
Â
Kenikmatan melenakan tugas pokok
Engkau meracik bait-bait di cawan berlumpur
Menghitamkan nama dengan kecerobohanmu
Bahkan tak menghiraukan kata-kata, jangan
Â
Tapi sayangnya nasib menghendaki lain
Tuhan tak lagi memihak kelicikan itu
Dan doa jiwa-jiwa yang terlantarkan
Telah membuka aib hidupmu, lirihku
Â
Surabaya, 19/09/2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H