Soekarno pernah berkata, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Perkataan itu setidaknya dapat menjadi pesan bagi para pemimpin negeri ini. Bangsa yang heterogen dan semakin kritis akan hak-hak mereka, mengobral perlawanan dalam berbagai bidang. Banyaknya aspirasi rakyat untuk dapat merdeka lahir dan batin menuntut pemimpin negeri untuk mampu memberi jalan yang solutif. Bentrok etnis, suku, dan golongan dan penindasan dalam mencapai kebutuhan seolah memperlihatkan wajah Indonesia yang kian tua. Semangat gotong royong di orde lama, musyawarah-mufakat sebagai negara demokrasi dan pengamalan jiwa Pancasila yang semurni-murninya pada orde baru seakan terkikis dalam perkembangan jaman Indonesia yang modern.
Indonesia semakin individualistik, dikuasai para borjuis yang menindas kaum miskin dipinggiran kota, dikolong jembatan bahkan dipinggir-pinggir jalan. Kesenjangan tak lagi dapat dihitung dengan jengkal tangan. Sampai mana Indonesia sebagai negara merdeka akan melangkah setelah mengantarkan rakyat kedepan pintu gerbang kemerdekaan.
Indonesia semakin jauh dari jati dirinya sebagai Indonesia yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, Indonesia yang berprikemanusiaan yang adil dan beradab, Indonesia yang memegang persatuan Indonesia, Indonesia yang dipimpin oleh hikmat dalam kebijaksanaan/perwakilan, dan Indonesia yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menjadi pemimpin tak semudah menolehkan kepala dan menjadi yang dipimpin tak mudah bertindak semaunya. Keseimbangan pemahaman dan pelaksanaan peran warga negaralah yang terpenting baik bagi pemimpin atau yang dipimpin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI