Fenomena quiet quitting yang semakin banyak kita temui di dunia kerja akhir-akhir ini merupakan salah satu respon dari para pekerja dalam menghadapi tantangan dunia kerja yang tidak sehat.
Tantangan di dunia kerja yang semakin berat ini tidak bisa dihindari karena merupakan dampak dari persaingan antara para pekerja dalam memperebutkan dan mempertahankan pekerjaan mereka yang semakin sulit dan berat.
Selain itu persaingan bisnis yang semakin ketat juga memaksa perusahaan untuk memaksimalkan sumber daya manusia yang dimilikinya, termasuk dengan mengurangi imbalan baik itu gaji maupun fasilitas menjadi lebih rendah dari sebelumnya.
Ditengah situasi kerja yang berat dan penuh tekanan, salah satu solusinya adalah "quit" atau keluar dari situasi tersebut namun hal ini tidak mudah dilakukan karena di sisi lain mereka tetap membutuhkan pemasukan untuk membiayai hidupnya sehari-hari.
Jadi kompromi dari dua ekstrim yang berlawan adalah dengan quiet quitting yaitu tetap bertahan di tempat kerja namun membatasi diri untuk bekerja hanya sekedar memenuhi "job-des".
Kelihatannya ini adalah jalan tengah yang terbaik, setidaknya dapat dua-duanya yaitu worklife balance yang sehat dan pendapatan yang cukup untuk biaya hidup sehari-hari meskipun tidak tidak ada jenjang karir di masa depan atau bisa dikatakan posisi akan tetap sampai pensiun.
Inilah pilihan yang banyak diamini oleh sebagian besar kaum milenial dan generasi Z akhir-akhir ini. Kerja ndak usah ngoyo, seadanya saja yang penting bisa menikmati hidup adalah jargon yang sering digaungkan oleh generasi ini.
Namun benarkah ini rasa tenteram sejati yang mereka harapkan?
Untuk saat ini mungkin jawabannya bisa ya, karena mereka memang butuh keseimbangan antara kerja dan mengembangkan hobi atau passion. Generasi ini juga juga butuh keluar dari tekanan kerja yang tiada habisnya agar kehidupan pribadinya lebih sehat, istilah jaman sekarang mereka butuh healing.
Namun apakah selamanya akan demikian? Kebutuhan hidup mereka semakin lama akan semakin berkembang.
Kalau saat ini mereka masih belum menikah kedepannya mereka akan menikah, yang baru menikah akan membentuk keluarga baru, punya anak dan butuh biaya yang tidak sedikit untuk membesarkan anak dan memberikan bekal pendidikan yang baik.
Semakin lama biaya hidup semakin besar, sementara pendapatan relatif tetap hanya naik mengikuti laju inflasi sehingga akan terjadi defisit atau penurunan kualitas hidup.
Tentu saja masa depan seperti itu bukanlah masa depan yang diharapkan mereka, bahkan bisa dibilang masa depan yang suram, kecuali bagi mereka yang beruntung memiliki warisan dari orang tua yang dapat menutup kebutuhan biaya hidup di masa depan.
Jadi untuk jangka pendek quiet quitting akan memberikan rasa tenteram namun tidak untuk jangka panjang. Sebuah rasa tenteram yang palsu karena hanya " sesaat" dan ujung-ujungnya adalah sebuah penderitaan atau penurunan kualitas hidup.
Bila demikian apakah salah untuk memilih dan melakukan quiet quitting ini? Apakah ada pilihan lain yang lebih baik untuk merespon "kesewenang-wenangan" pemberi kerja atau beratnya tekanan kerja akibat persaingan sesama pekerja yang makin menggila?
Memilih opsi quiet quitting tidak sepenuhnya salah, setidaknya untuk jangka pendek agar kita tidak kehilangan kewarasan dan mempunyai kehidupan pribadi atau worklife balance yang sehat.
Yang salah kalau kita berekspektasi bahwa quite quitting adalah langkah terbaik dan satu-satunya yang akan terus relevan dalam menghadapi kondisi dunia kerja saat ini dan di masa yang akan datang.
Dalam permainan catur, quiet quitting hanyalah langkah antara, mundur satu langkah untuk kemudian menyusun langkah yang lebih baik dan efektif.
Jadi jangan sampai terlena dengan rasa tenteram palsu yang kita alami karena melakukan quiet quitting. Ini hanya sebuah masa untuk mundur ke belakang (retreat), berkonsolidasi dan merancang life-plan yang lebih baik.
Sesungguhnya bagian yang paling sulit dan berat bukan melakukan quiet quitting namun merancang life-plan yang lebih baik agar bisa keluar dari lingkungan kerja yang toxic sebagai dampak dari quiet firing dan quiet quitting.
Merancang life-plan yang lebih baik membutuhkan pengenalan diri yang menyeluruh, mengetahui dan menyadari kekurangan dan kelemahan diri, mengetahui bagian mana (karakter, mindset) yang harus dihilangkan atau dikurangi dan bagian mana yang harus dibentuk dan dikembangkan.
Bila kita ingin pindah kwadran dari pekerja menjadi pengusaha, perlu kita sadari bahwa ini tidak semudah yang dikatakan oleh para motivator.
Tidak semua orang bisa menjadi pengusaha yang sukses, banyak faktor yang mempengaruhinya seperti faktor genetika, mindset, lingkungan, keberuntungan dan faktor-X yang kadang sulit untuk dijelaskan.
Namun demikian setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan bila kita memilih opsi quiet quitting sebagai respon terhadap lingkungan kerja yang tidak sehat dan tidak ada masa depan karir di tempat kerja tersebut.
Pertama, sadarilah bahwa quiet quitting hanyalah langkah antara dan bukan sikap akhir (final response) terhadap situasi tempat kerja saat ini.
Kedua segera Menyusun life-plan yang lebih baik, dengan cara mengenal diri sendiri dengan lebih baik, misalnya dengan melakukan Analisa SWOT pribadi, bila perlu mulai me-reset mindset agar sesuai dengan target yang akan diraih.
Ketiga adalah dengan mengeksekusi life-plan yang sudah kita buat, mulai move-on dan terus meng-upgrade diri, haus untuk belajar apa saja dan dari siapa saja, selalu berpikir positif dan membuka diri terhadap ide-ide baru dan terus me-review plan yang sudah kita buat.
Hal yang terpenting dari ketiga hal di atas adalah konsistensi untuk melakukan siklus plan-do-check-action (PDCA), artinya secara periodik dan terus menerus kita membuat plan, mengeksekusi, mengevaluasi dan melakukan langkah perbaikan atau me-review plan sebelumnya menjadi plan yang baru dan seterusnya.
Selamat berjuang, Good luck.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H