Mohon tunggu...
Rudy Subagio
Rudy Subagio Mohon Tunggu... Lainnya - Just ordinary people, photograph and outdoors enthusiast, business and strategy learner..

Hope for the Best...Prepare for the Worst ...and Take what Comes. - anonymous- . . rudy.subagio@gmail.com . . Smada Kediri, m32 ITS, MM48 Unair

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Quiet Quitting: Antara Tuntutan Kerja yang Semakin Tinggi dan Kemajuan Karier yang Mandeg

24 September 2022   09:12 Diperbarui: 24 September 2022   19:59 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi karyawan quiet quitting. Sumber: Kompas.com

Mungkin bukan sebuah kebetulan bila dalam beberapa tahun terakhir ini saya menemukan fenomena quiet quitting ini diantara para karyawan dan staff kantor yang berasal dari generasi Z dan generasi milenial.

Secara umum fenomena quiet quitting ini menggambarkan karyawan yang tetap bertahan di tempat kerjanya namun hanya melakukan pekerjaan seminimal mungkin, sekedar untuk memenuhi "job-des" yang ada.

Mereka menghindari tugas tambahan atau terlibat proyek di luar "job-des" mereka atau di luar jam kerja yang telah ditetapkan.

Fenomena yang saya amati ini terjadi di perusahaan multi nasional yang secara manajemen mengikuti standard manajemen yang bagus dalam mengelola sumber daya manusianya. Kalau sekelas perusahaan multi nasional saja ada fenomena seperti ini apalagi untuk perusahaan lokal, menengah dan kecil.

Banyak faktor yang mempengaruhi munculnya fenomena ini pada perusahaan-perusahaan besar dan kecil akhir-akhir ini. Faktanya fenomena ini bukan sebuah kebetulan, pada satu waktu dan tempat tertentu, namun merupakan fenomena global yang terjadi di belahan bumi yang lain.

Berikut ini beberapa faktor yang menyebabkan fenomena quiet quitting semakin marak akhir-akhir ini.

Faktor yang pertama adalah persaingan bisnis yang semakin ketat sehingga memaksa perusahaan untuk melakukan efisiensi di segala bidang termasuk bagaimana memanfaatkan sumber daya manusia yang dimiliki secara maksimal.

Para karyawan dituntut untuk menguasai semua ketrampilan bahkan ketrampilan unit atau bagian lain yang bukan "job-des"nya atau istilahnya multi-skills. Dengan demikian bila salah satu karyawan tidak masuk maka karyawan lain harus bisa menggantikan pekerjaan rekannya.

Tentu saja kondisi dimana salah satu karyawan tidak masuk dan karyawan lain harus melakukan double job untuk menggantikan tugas karyawan yang tidak masuk adalah kondisi emergency atau temporary saja.

Namun begitu karyawan dapat menangani double job dengan tanpa masalah yang berarti, maka perusahaan mulai berpikir seharusnya setiap karyawan seharusnya juga dapat melakukan hal yang sama sehingga perusahaan dapat berhemat atau melakukan efisiensi sampai 50%.

Dalam kasus yang berbeda, ada kalanya seorang karyawan diminta untuk mengerjakan job atasannya dan dengan berjalannya waktu serta kerja keras dari karyawan tersebut akhirnya dia dapat menangani pekerjaan satu tingkat lebih tinggi dari posisinya saat ini.

Dalam kondisi normal karyawan yang dapat menangani pekerjaan satu level diatasnya biasanya diberikan promosi atau kenaikan pangkat, namun dalam hal ini tidak.

Perusahaan beralasan bahwa dalam kondisi persaingan bisnis yang sangat ketat seperti saat ini setiap karyawan dituntut untuk memberikan kontribusi yang maksimal, termasuk mengerjakan pekerjaan yang menuntut tanggung jawab lebih tinggi dari posisinya saat ini.

Ilustrasi fenomena Quiet Quitting, Sumber: How-to-live.de
Ilustrasi fenomena Quiet Quitting, Sumber: How-to-live.de

Saat ini banyak perusahaan yang menerapkan praktik-praktik di atas baik secara terang-terangan ataupun terselubung. Perusahaan "memanfaatkan" multi-skills atau higher-skill yang dimiliki karyawan tanpa imbalan apa-apa dengan alasan efisiensi dan productivity up.

Di lain sisi karyawan yang merasa dimanfaatkan juga tidak bisa berbuat apa-apa, sehingga mereka akan bereaksi dengan melakukan quiet quitting. Percuma mereka bekerja melebihi "job-des" yang sudah ditetapkan baik itu berupa multi-skills atau higher-skill karena perusahaan hanya ingin memanfaatkan skill mereka dan menganggap sudah seharusnya demikian.

Jadi meskipun karyawan bekerja dengan excellent, sanggup melakukan double job, multi tasking ataupun menangani pekerjaan pada level yang lebih tinggi namun ujung-ujungnya tidak ada promosi yang sesuai tugas dan tanggung jawab yang sudah dikerjakan.

Faktor kedua adalah hukum demand and supply di dunia kerja. Saat ini supply jauh lebih besar daripada demand.

Seperti kita ketahui dalam beberapa dekade ini jumlah angkatan kerja terus bertambah seiring dengan pertumbuhan penduduk dunia termasuk di Indonesia.

Di sisi lain perkembangan teknologi telah menyebabkan banyak lapangan kerja yang menghilang karena digantikan oleh teknologi digital seperti otomatisasi, robotic dan artificial intelligence.

Dengan demikian supply semakin besar sementara demand mengecil sehingga menyebabkan persaingan antar sesama pencari kerja semakin sengit.

Dengan supply yang jauh di atas demand maka perusahaan-perusahaan lebih leluasa untuk mencari karyawan yang "manut" dan "nrimo" dengan beban kerja yang di atas standar sebelumnya dengan posisi yang lebih rendah.

Persaingan dalam dunia kerja yang semakin sengit baik bagi pencari kerja maupun bagi mereka yang sudah bekerja untuk mempertahankan posisi mereka saat ini mengakibatkan perang "diskon" besar-besaran diantara mereka.

Sebagai contoh posisi yang yang dulunya diperebutkan oleh lulusan setara SMA sekarang lulusan D3 atau S1 pun banyak yang bersedia untuk di down-grade, yang penting bisa bekerja atau di terima sebagai karyawan sebuah perusahaan.

Di beberapa perusahaan praktik down-grade ini juga diterapkan secara meluas bagi karyawan yang sudah bekerja.

Sebagai contoh posisi yang dahulunya dipegang oleh unit head sekarang diberikan kepada staff biasa, sehingga perusahaan dapat lebih berhemat dengan tidak perlu membayar gaji standar unit head yang lebih tinggi dari staff biasa.

Dengan tingkat persaingan antar karyawan yang sangat tinggi praktik semacam ini dapat berjalan dengan mulus.

Karyawan yang diberikan pekerjaan yang lebih banyak atau tugas dan tanggung jawab yang lebih tinggi tidak bisa serta merta dipromosikan dengan alasan harus mengikuti aturan jenjang kepangkatan (grading) yang berlapis-lapis.

Dengan kondisi dunia kerja saat ini dimana tingkat supply yang jauh lebih tinggi dari demand maka akan selalu ada karyawan yang bersedia di-down grade baik saat penerimaan maupun setelah bekerja bertahun-tahun.

Dengan kata lain, kalau mereka tidak mau mengikuti kemauan perusahaan masih ada banyak orang lain yang bersedia menggantikan posisi mereka saat ini.

Di era global saat ini, persaingan memperebutkan pekerjaan bukan hanya terjadi internal di dalam sebuah negara tetapi juga meluas secara global. Perusahaan-perusahaan multi nasional atau perusahaan global tidak segan segan memindahkan fasilitas produksinya ke negara yang tenaga kerjanya lebih murah atau lebih mudah diatur.

Faktor lain yang ikut memicu merebaknya fenomena quite quitting adalah terjadinya pandemi covid-19 selama dua tahun terkahir ini.

Dampak dari pandemi ini di satu sisi telah menyebabkan ekonomi global melambat sehingga terjadi pengurangan karyawan dan menyebabkan tingkat persaingan di dunia yang sudah ketat semakin lebih ketat lagi.

Di sisi lain dampak dari pandemi ini perusahaan dapat melakukan trial and error dengan memberikan double job kepada karyawannya karena pembatasan jarak atau pembatasan orang dalam satu ruangan.

Tidak dapat disangkal lagi, kombinasi dari kedua dampak pandemi covid-19 diatas telah menyebabkan fenomena quiet quitting berkembang dengan lebih besar dan lebih cepat dari yang dapat dibayangkan sebelumnya.

Apakah salah bila kemudian banyak karyawan yang frustasi dengan kondisi kerja saat ini dan memilih untuk quiet quitting ? Sekedar bertahan ditengah-tengah situasi yang mereka anggap tidak adil namun mereka tidak berdaya untuk mengubahnya.

Mungkin quiet quitting bukan pilihan yang terbaik, namun bila kita pada posisi mereka kita akan merasakan betapa sulitnya mengambil sikap pada situasi yang sulit ini. Kadang akal sehat tidak cukup untuk menjaga kewarasan, hanya bisa pasrah dan berdamai dengan kenyataan.

But, life is not fair, right?

Selamat berakhir pekan, Have a nice weekend....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun