Mohon tunggu...
Rudy Subagio
Rudy Subagio Mohon Tunggu... Lainnya - Just ordinary people, photograph and outdoors enthusiast, business and strategy learner..

Hope for the Best...Prepare for the Worst ...and Take what Comes. - anonymous- . . rudy.subagio@gmail.com . . Smada Kediri, m32 ITS, MM48 Unair

Selanjutnya

Tutup

Metaverse Artikel Utama

Selamat Datang Kuliah di Metaverse, Meskipun Saya Hanya Jadi Penonton Saja

13 April 2022   22:55 Diperbarui: 15 April 2022   04:00 1174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Metaverse. (sumber: Reuters via kompas.com)

Metaverse itu ibarat sebuah kolam dimana kita sebagai pengguna bisa berinteraksi dengan orang lain secara virtual dalam wujud diri digital atau avatar. 

Berbagai interaksi dalam dunia nyata juga dapat dilakukan di dunia virtual ini seperti bersosialisasi, ngobrol bareng, main game, jual beli barang bahkan berinvestasi.

Jadi metaverse itu kolam yang didalamnya terdiri dari VR, AR, streaming game, NFT yang terintegrasi dalam sebuah sistim blockchain sebagai backbonenya. 

Semua interaksi yang terjadi di kolam ini sifatnya adalah decentralize dengan kata lain tidak ada otoritas atau centralize yang mengatur mereka.

Cikal bakal metaverse tentu tidak bisa dipisahkan dari sebuah novel yang menggambarkan manusia sebagai avatar yang bisa berinteraksi satu sama lain dalam ruang virtual tiga dimensi yang disebut metaverse. Novel ini berjudul Snow Crash karya Neal Stephenson yang dirilis tahun 1992.

Dalam perkembangannya dunia virtual tiga dimensi atau metaverse ini banyak dikembangkan dan diaplikasikan dalam platform game online seperti Roblox, Fortnite, minecraft dan sejenisnya.

Saat ini perkembangan metaverse semakin pesat seiring dengan kemajuan teknologi VR maupun AR dan teknologi blockchain. Dari teknologi tersebut kemudian dikembangkan mata uang kripto seperti bitcoin atau Ethereum, juga pengembang properti virtual seperti Decentraland.

Dengan kemajuan teknologi digital saat ini yang berlangsung secara eksponensial dan masif maka metaverse akan mewarnai dalam setiap aktifitas sehari-hari bagi generasi masa kini dan masa depan, termasuk di bidang pendidikan.

Saat ini dunia sudah mulai berubah, generasi masa depan tidak sama dengan generasi zaman dahulu. Kalau anak zaman dulu cita-citanya keliling dunia menikmati udara segar , bertemu orang baru, maka anak-anak di masa depan cita-citanya ingin "pindah dunia" dan menikmati dunia meta yang berbeda.

Dengan adanya dunia meta yang luas dan tanpa batas maka kehidupan akan lebih fokus ke dunia digital. Diprediksi 80% populasi manusia akan lebih merasa nyaman hidup di dunia digital daripada di dunia nyata.

Begitupun masa depan dunia pendidikan cepat atau lambat akan menuju ke pembelajaran dengan memanfaatkan metaverse. Penggunaan metaverse dalam dunia pendidikan akan meningkatkan kualitas proses belajar mengajar menjadi lebih aktual, efektif dan efisien.

Sebagai contoh bila dalam proses pembelajaran konvensional guru membutuhkan alat peraga, dengan metaverse alat peraga bisa dibuat seperti nyata dan bisa dipakai berkali-kali tanpa berubah atau rusak.

Contoh lain, untuk mengetahui cara kerja atau mekanisme sebuah sistim tertentu dapat diperagakan dengan lebih jelas dan lebih mudah dipahami.

Dalam pendidikan kedokteran metaverse akan memegang peranan penting dalam simulasi atau praktik operasi baik yang ringan sampai dengan yang berat. 

Dengan metaverse mahasiswa kedokteran dapat melakukan praktek dengan lebih aman & nyaman dan dapat berinteraksi langsung dengan dokter berpengalaman yang menjadi dosennya.

Mahasiswa dan dosen terlibat langsung dalam simulasi atau praktik tindakan medis yang intens karena keduanya sebagai diri-digital atau avatar yang bisa berinteraksi dan berkomunikasi dengan lebih jelas dalam dunia tiga dimensi virtual atau metaverse.

Selain itu kegiatan ini bisa diulang berkali-kali karena obyek praktek dalam dunia virtual bisa diduplikasi dengan mudah. Mahasiswa juga diuntungkan karena bisa mengulang berkali-kali sebuah praktik atau prosedur kedokteran yang kompleks.

Selain dalam bidang kedokteran, metaverse juga sangat bermanfaat dalam bidang pendidikan vokasi seperti di sekolah kejuruan maupun jenjang diploma di perguruan tinggi yang membutuhkan praktik langsung seperti pada bidang rekayasa, robotika maupun permesinan.

Meskipun manfaatnya sangat besar namun penggunaan metaverse dalam proses belajar mengajar membutuhkan infrastruktur dan peralatan yang tidak murah. 

Dan saat ini teknologi untuk membuat alat pendukung tersebut masih terus berkembang dan diharapkan semakin lama harganya semakin terjangkau.

Yang pertama tentu saja dibutuhkan komputer dan sambungan internet kecepatan tinggi. Komputer yang dipakai juga haru memenuhi spesifikasi yang cukup tinggi untuk mendukung tampilan ruang tiga dimensi virtual. 

Jadi tidak cukup komputer yang standar, minimal seperti komputer untuk gaming yang mendukung tampilan grafis 3D yang mumpuni dan prosesor berkecepatan tinggi.

Ilustrasi Kuliah di Metaverse, Sumber: edumasterprivat.com
Ilustrasi Kuliah di Metaverse, Sumber: edumasterprivat.com

Untuk mengalami pengalaman berada di dunia virtual tiga dimensi atau metaverse, kita juga membutuhkan alat bantu seperti headset dan kacamata VR (Virtual Reality) atau AR (Augmented Reality) dan mungkin juga sarung tangan teknologi haptic.

Karena membutuhkan biaya atau investasi yang masih cukup mahal untuk saat ini, maka penerapannya masih terbatas baik dalam kuantitas maupun kualitas.

Secara kuantitas saat ini sudah ada sejumlah universitas di dunia sudah mulai menggunakan teknologi Metaverse dalam dunia pendidikan. Seperti Aman Arab University, BrainSTEM University, CEU University, Khon Kaen University, University Of Nigeria, dan University Of Nikosia.

Sedangkan di Indonesia, perguruan tinggi yang sudah mulai menggunakan teknologi metaverse adalah Universitas Muhammadiyah  Prof Dr HAMKA (UHAMKA). Dan baru-baru ini Universitas Katolik Atma Jaya atau Unika Atma Jaya dan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) mengembangkan teknologi metaverse untuk kepentingan perkuliahan.

Penerapan metaverse dalam dunia pendidikan ini tidak lepas dari dampak Pandemi COVID-19 yang telah membawa perubahan besar pada metode belajar di dunia pendidikan. Diperkirakan lebih dari 1,6 miliar siswa dari 192 negara di seluruh dunia, mengalami disrupsi pada proses belajar-mengajar.

Belajar yang tadinya bertemu tatap muka antara pengajar dan siswa, sekarang harus dilakukan secara online dengan berbagai macam platform online. 

Metaverse menyediakan dukungan pada pembelajaran online secara lebih interaktif dengan tidak menghilangkan pengalaman belajar di sekolah atau kampus.

Secara kualitas penerapan metaverse dalam dunia pendidikan masih pada tahap awal pengembangan yang mana lingkupnya masih terbatas dan bentuknya masih sederhana. Secara umum penerapannya masih mengacu pada platform game atau media sosial.

Sebagai contoh CEU University di Spanyol, menggunakan platform Minecraft Education Edition dalam mengembangkan Metaverse untuk mendukung komunitas pembelajaran secara virtual.

Selanjutnya, Amman Arab University, Yordania, bekerja sama dengan EON Reality, perusahaan terkemuka dalam Augmented dan Virtual Reality, meluncurkan EON-XR sebagai Metaverse Hub dengan tujuan untuk membuat pembelajaran yang lebih interaktif.

Secara umum metaverse yang dibangun di universitas-universitas dunia saat ini kebanyakan masih menekankan interaksi di dunia digital atau dunia virtual 3D. Beberapa diantaranya juga mengembangkan blockchain dan cryptocurrency, namun belum sampai membuat metaverse untuk pratikum atau real simulation dan yang sejenisnya.

Hal yang kurang lebih sama yang dilakukan universitas-universitas di dalam negeri dalam membangun universitas metaverse atau meta-university.

Namun demikian cepat atau lambat teknologi metaverse akan berkembang  dengan laju eksponensial sehingga bentuk metaverse dalam dunia pendidikan akan menyamai pembelajaran tatap muka dalam semua bidang dan metode pembelajaran yang ada.

Menurut Mark Zuckerberg selaku CEO dan pendiri Facebook atau Meta, butuh waktu 10 hingga 15 tahun dalam membangun metaverse dan dibutuhkan kolaborasi antar-perusahaan. 

Jadi metaverse dalam dunia pendidikan mungkin akan benar-benar diterapkan dalam proses belajar-mengajar secara paripurna, termasuk kegiatan praktik baik dalam skala laboratoriun maupun dalam praktik tindakan nyata sekitar 10 sampai 15 tahun lagi.

Selamat datang di perkuliahan metaverse di universitas metaverse, pada saat itu terjadi mungkin saya cukup jadi penonton saja, bukan apa-apa, karena masa depan memang milik generasi masa depan.

Dan perlu diingat, teknologi termasuk teknologi metaverse ibarat pedang bermata dua, selalu memiliki dua sisi yang berbeda. Di  satu sisi bisa memberikan manfaat yang positif dan di sisi lain juga ada dampak negatifnya, tergantung orang yang menggunakannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Metaverse Selengkapnya
Lihat Metaverse Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun